Aku, Aku, dan Aku

Hidup adalah perjalanan, kata orang bijak. Perjalanan ke mana? Tentunya untuk menggapai kebahagiaan. Buat orang-orang beragama kebahagiaan abadilah yang hendak dicari. Tiap manusia pada dasarnya pasti ingin bahagia. Dari kehendak itulah manusia mulai melakukan perjalanan untuk mencari apa yang diidam-idamkan. Sebagian mungkin merasa jawabannya ada pada diri seorang pasangan.  Sebagian yang lain mungkin melihatnya sebagai harta atau kuasa. Kalau menurut Ki Ageng Suryo Mentaram tiga pandangan tadi keliru, seperti pada kumpulan wejangan beliau dalam Ilmu Bahagia I, Ilmu Bahagia II, dan Ilmu Bahagia III.

Buat sebagian orang ajaran-ajaran beliau murni ilmu jiwa atau psikologi. Bukan bicara soal klenik atau tidak sama dengan kejawen. Tapi, buat saya wacana yang beliau sampaikan sebenarnya tidak lepas sama sekali dari alur ‘kawruh’ kejawen pada umumnya, yaitu belajar mengenal diri. Bedanya, beliau berusaha memahami ajaran para pendahulu dalam semangat kekinian. Bahasa yang digunakan memang tak seperti syair-syair spiritualis jaman dahulu. Pun tidak rumit dengan simbol-simbol misterius layaknya para pujangga masa lalu. Semuanya tersaji secara jelas, gamblang, dan sederhana. Bagi yang tertarik silakan klik tiga atau empat tautan di atas. Saya hanya memaparkan sesuai perspektif *halah* saya saat ini, sebagai dongeng pribadi. Bila mengakibatkan sakit kepala silakan kunjungi apotek terdekat. Risiko ditanggung sendiri-sendiri.

Mirip Siapa?

Mirip Siapa?

Menyambung prinsip keselarasan pada artikel yang telah lalu, keberadaan manusia [setahu saya] dibagi dalam tiga dimensi utama. Pada tataran terendah, dimensi raga, tubuh manusia [tanpa nalar] pada dasarnya tak jauh berbeda dengan hewan. Untuk mempertahankan hidupnya di sini manusia telah memiliki kehendak. Terdapat pribadi yang setahu saya (sepertinya tidak populer) disebut ‘Kula’ atau akronim ‘Aku sing ala’ (aku yang buruk). Dibilang buruk karena pribadi satu ini cuma tahu hal-hal yang sangat mendasar. Bila merasa lapar lalu makan, bila ingin bepergian lalu bergerak, dan bila ingin bereproduksi lalu ‘jreng jreng jreng’. Tidak ada selera tertentu, rasa malu, atau keinginan yang melebihi kebutuhan. Kehendak primordial barangkali. Sampai di sini tampaknya semua berjalan biasa saja, tak ada gejolak berlebihan.

Namun, manusia dibekali otak yang bisa tumbuh berkembang baik jumlah data maupun programnya. Nah, di sinilah sang hewan mulai melihat peluang ekspansi. Menemukan dunia virtual melalui komputer organik super cepat, mengakses nalar atau pikiran. Makhluk yang berjalan tegak ini mulai bisa memikirkan apa yang dia butuhkan, di mana, dan bagaimana mencapainya. Melalui pikiran inilah orang mulai bisa berkhayal. Masuk ke jagad kejiwaan, alam remang-remang yang hanya disinari cahaya Rembulan. Sebuah tempat yang tampaknya tenang, kosong, dan mudah dikuasai. Kesadarannya mulai berubah. Dari sekadar memenuhi kebutuhan, pribadi kasar satu ini mulai mempunyai keinginan. Berhubung memang hewan, pengejawantahan wataknya pun tak banyak berubah. Di sini dia ingin menjadi jagoan, sok kuasa, jumawa, kesadaran “lu senggol gue bacok” barangkali. Mirip kaum Kurawa, akronim dari ‘kurugan hawa’ (tertimbun hawa nafsu), kata orang kejawen.

Raksasa

Raksasa

Kaum raksasa ini punya keinginan yang cenderung bisa melar, kata Ki Mentaram. Maksudnya, tak sekedar Ingin makan, tapi harus yang enak, ingin pasangan yang cantik binti bahenol, tidak mau capek kalau menempuh perjalanan, dsb. Orang mulai bisa menganalisis, menyusun taktik dan strategi, menjadi hewan yang berpikir, kata ilmuwan seberang lautan. Inilah awal ilusi keinginan yang dibabar sang Pangeran Kecewa atau lebih populer disingkat KAS. Keinginan itu bisa melar, kalau ingin makan daging ayam, umpamanya, setelah tercapai, besoknya berganti menjadi keinginan memakan daging sapi, berikutnya digoreng, lalu dibuat sop, dll. Merasa senang ketika tercapai untuk kemudian ingin lebih senang lagi. Kalau menurut istilah Pak Marsudiyanto, hewan ini diklasifikasikan sebagai makhluk nggragasvora.

Alam kejiwaan kadang digambarkan sebagai lautan, tapi ada juga yang menganalogikan sebagai angkasa. Kurawa merasa bisa mendapatkan apa yang mereka inginkan di sini, kebahagiaan, sesuai persepsinya sendiri. Berbekal segumpal rasa sok kuasa, mereka ingin menguasai tempat ini sampai dasar lautannya atau langit di angkasa. Tentu saja mereka tak sendiri. Di situ ada pula para Pandawa atau ‘Pendawa’ dalam dialek Jawa, akronim dari ‘pener dhadha sisih kiwa’ (tepat di dada sebelah kiri). Berbeda dengan calon lawannya, watak Pandawa cenderung cinta perdamaian, lemah gemulai, mendayu-dayu, atau barangkali juga sedikit melankolis. Kesadaran Rembulan. Karena itu, sifatnya selalu ingin menerangi alam maya, meski masih tampak samar-samar, tidak terlalu jelas. Sama dengan Kurawa, mereka pun punya akses komputer nalar, lalu berkehendak untuk menjadi penguasa tempat ini.

Ksatria

Ksatria

Di sinilah mulai timbul pergesekan. Dari rasa tidak suka, berkembang menjadi adu argumen, meski menggunakan jalur logika yang berbeda. Ketika kedua belah pihak tak mampu mencapai kesepakatan, timbul pertentangan yang lebih nyata. Masing-masing kini mengepalkan tangan, tanda perselisihan. Hal ini menjadikan kedua kubu makin tidak senang karena belum berhasil memenuhi misinya. Oleh karena itu, alat hitung cepat bernama pikiran lalu berubah fungsi, menjadi gudang senjata. Baik Kurawa maupun Pandawa sama-sama menganggap pertempuran adalah jawaban finalnya. Cara mutlak memperoleh kekuasaan, memenuhi ambisi, untuk mendapatkan kebahagian melalui kekalahan lawan.

Jagad yang tadinya sejuk, tenang, dan damai mendadak berubah menjadi medan pertempuran. Jagad maya menjelma menjadi padang kurusetra, ladang pembantaian sesama. Langit yang tadinya tampak cerah tiba-tiba gelap, ditutupi jutaan anak panah. Saling beradu hingga mengeluarkan suara menggelegar, gemuruh, dan memancarkan warna merah. Di sisi lain, laut turut bergejolak, menggelegak oleh tiupan angin topan. Badai terjadi di mana-mana dan berubah warna seperti darah. Sementara itu, bumi bergolak, bergetar karena terinjak-injak kaki para gajah tunggangan yang terluka akibat hujaman anak panah dan tombak, usai menubruk dan melindas kereta-kereta kuda. Gada dan pedang bertaburan di mana-mana, korban menggeletak tak berdaya.

Di sinilah bersemayamnya sang ‘Aku’ atau kadang disebut ‘Aku tengah’, sang pemilik alam kajiwan. Mendapati adanya pertarungan di sana dan sini, dia tampak bingung, resah, gelisah, tak tahu mana yang pantas dipilih. Suasana terlihat kacau balau, semrawut, rusuh, kisruh. Jagad maya seolah bercampur-aduk tak keruan. Apalagi ada kabar bahwa ada pihak-pihak asing yang gemar turut andil memperkeruh suasana. Belum lagi ‘Aku’ menyaksikan kelahiran makhluk aneh, hasil percampuran dua pihak yang berseberangan, berujud seperti Uruk Hai. Sifatnya pun tak kalah nyleneh. Ada yang doyan membikin rusuh, tapi mengatasnamakan persatuan. Ada pula yang senang membantu, bersedekah, namun selalu ingin ditampilkan secara wah. Ujung-ujungnya hanya membuat susah. Ibarat hidup di neraka, yaitu neraka keinginan.

Meski mungkin tak terlalu populer, ada orang Jawa yang menganggap hakikat neraka dan surga di alam akhir adalah rahasia Ilahi. Meski begitu, dua kata tersebut bisa dimaknai. Neraka disinyalir berasal dari akronim “sing di’ener ora teka-teka” (keinginan / kepuasan yang tak pernah tercapai).

‘Aku’ kian gelisah dan merasa serba salah. Meski tak ikut bertempur dan tak bisa cedera, bukan berarti dia bisa berleha-leha sepuasnya. Pasalnya, dia pernah diberi dua wacana soal sedekah.

“Nadyan setithik karsa myang sadhengah, barakah rejeki paringing Allah, sumrambah tekeng putra wayah”

“Meski sedikit (tapi) hendaknya untuk siapa saja (yang membutuhkan), memanfaatkan rejeki pemberian Tuhan, berlanjut hingga anak dan cucu”

“Paring iku sing sedheng, mboten waton kathah, mangke mundhak wutah mbekakrah”

“Pemberian itu secukupnya, tidak asal banyak, nanti malah tumpah berantakan”

Dia sepertinya menyadari sesuatu. Mempertanyakan, “Apakah bahagia itu?”  Tadinya ‘Aku’ mengira dapat memperolehnya melalui harta, seperti yang berusaha dikumpulkan oleh para Kurawa. Nyatanya, semua itu tak lantas membuatnya bahagia. Selalu ada keinginan lebih dan bila disimpan pun menimbulkan ketakutan yang berlebih. Pasangan yang menarik pun sama hasilnya. Tidak pula kekuasaan yang serba sementara, yang akhirnya bisa lenyap karena kudeta atau penyebab lainnya. Dia lalu menyadari bahwa tak ada benda yang pantas dicari atau berusaha dimiliki secara mati-matian. “Bagaimana kalau ikut Pandawa saja,” katanya pada diri sendiri, berharap kebahagiaan yang lebih hakiki. Namun, faktanya tak jauh berbeda. ‘Aku’ mencoba menyebar harta tiap hari dan membayangkan iming-iming ganti rugi berupa perlipatan harta benda. Makin ditebar, makin besar pula kenginannya untuk berbuat lebih banyak, lebih, dan lebih lagi. Dia lalu merenung, “Ah, sepertinya kok tak jauh beda dengan ngelmu pesugihan.”

Senang sebentar lalu susah lagi, serba bermasalah. Lalu, ‘Aku’ seperti mendapat pencerahan. “Ini dia!” Dia menyadari sesuatu. Kebahagiaan atau kesenangan bukan pada benda yang dicari atau yang sudah dipunyai. Tidak pula pada angan-angan, keinginan, atau bahkan hasil itu sendiri. Kebahagian sejati adalah rasa. Bagaimana cara mendapatkannya? Sang jagad jiwa lalu mendapat ide cemerlang saat meratapi planetnya yang sudah hancur porak-poranda. Dia ingat lagi petuah kuno bahwa dahulu kala dirinya tidak ada. Lalu, diberi keberadaan, apapun yang ada pada dirinya hanyalah titipan, pinjaman, atau ujian. Bila diserahkan kepada Tuhan, suatu saat bakal dikembalikan dan dilipatgandakan. Bahkan, sebagai penghargaan atas kesetiaan, kepatuhan, dan ketundukkan, seseorang lalu diberi label kepemilikan. Sebaliknya, bila apa yang ada hanya disimpan, tidak dimanfaatkan, suatu ketika semua itu wajib dikembalikan. Akhirnya, jangan-jangan justru berakhir dengan sebuah ketiadaan, kenistaan, neraka jahanam mungkin.

Sepertinya ajaran tersebut memberi jawaban yang dibutuhkannya. “Tutup saja gudang senjatanya,” katanya seraya melambaikan jari tangan, menutup akses dunia maya, si komputer jagad pewayangan. *Jebret! tombol restart dipencet!* “Tidaaak!” Terdengar suara-suara yang gemuruh penuh kekecewaan. Para petarung terkaget-kaget sambil melirik ke kiri dan kanan. Seketika itu juga pertempuran mereda. Panah-panah di udara lenyap semua, tombak dan gada pun sama nasibnya, dan jubah-jubah serta tameng musnah tak berbekas. Hanya menyisakan ketelanjangan kedua belah pihak yang saling bertikai. Berhubung tak ada lagi senjata, padang kurusetra berubah ujud kembali seperti semula. Alam remang-remang yang sepi, tenang, tak ada gejolak. Mendapati keadaan ini, para Kurawa serta Pandawa tak bisa apa-apa. Suasana mendadak berubah menjadi banyolan super konyol. Mereka yang tadinya bertempur dengan sengit dan ganas, sekarang hanya bisa bercubit-cubitan sambil bersenggol-senggolan.

Langit Jiwa

Pemandangan alam yang bukan hasil jepretan saya.

Tak hanya sampai di situ, sang maya mengambil langkah yang lebih drastis. Dia memutuskan menyerahkan segalanya kepada sang penguasa, menjadi pasrah, tunduk, sujud, dan bahkan mati. Mengorbankan dirinya sendiri dalam upaya mencari kebahagiaan sejati. Mungkin inilah yang disebut ‘mati sakjeroning urip’ (mati di dalam kehidupan). Sekonyong-konyong sang pribadi tengah lunglai, tak lagi butuh kuasa, tak berdaya. Pihak-pihak asing pun terpaksa kembali ke alamnya masing-masing, dideportasi secara otomatis. Meski begitu, pengorbanan tersebut tidaklah sia-sia.

Dalam ketiadaan itu justru membangkitkan kesadaran yang lebih tinggi. Sebuah pribadi yang terbangun dari tidur panjang, muncul dari sebuah kepompong cahaya. Sebuah kesadaran dari realitas lebih tinggi, dimensi ‘Jagad Padhang’ (alam terang benderang). Bukan lagi seperti Rembulan, sang pemantul cahaya, melainkan sebuah pribadi Mentari, sang manusia cahaya, ‘Ingsun’. ‘Aku Tukang Nyawang‘ (Aku Sang Pengamat), istilah Ki Mentaram. Barangkali bisa digambarkan sebagai sosok Sri Kresna, guru para Pandawa dan sekaligus Kurawa. Bisa juga disebut Dewi Srikandi supaya tidak dikira bias gender. Tokoh yang konon tahu skenario akhir perang Baratayuda dan siapa yang pantas menjadi jawara sesungguhnya. Cerah berseri-seri dan dengar-dengar cahayanya bisa 1000 kali lebih gemerlap dari sebuah Rembulan.

Wisnu

Wisnu

Begitu terbangun, sang ksatria sejati ini lalu celingak-celinguk melihat jagad maya yang kini lebih menyerupai sinetron komedi yang tidak lucu. Saking kagetnya beliau berucap, “Yak apa iki rek? Gak ngono kuwi ceritane Baratayuda.” Sekejap kemudian berusaha berdiri dan tanpa sadar lalu berucap lantang, “Sluman, slumun, slamet!” Tiba-tiba dia membekap mulutnya sendiri sambil tengak-tengok lalu bergumam, “Lho, piye iki kok Ingsun dadi satria kejawen ngene ta?” Belum sempat berpikir mendadak muncul suara yang sebenarnya bukan suara, tapi jelas maksudnya. Seolah muncul dari dalam diri sang Mentari. “Sampeyan gak usah kakehan abab. Manuta ae. Ingsun iki dhalange!”

Mendengar jawaban tersebut sang ksatria yang dipenuhi cahaya itu langsung patuh. Katanya memang seperti itulah watak dasarnya. Selalu patuh, tunduk, dan siap mengabdi kepada Tuannya. Dengan sigap ia lalu menaiki kereta yang dihiasi pahatan berukir ‘Sir’, di atas roda-roda ‘Nurani’. Tangannya langsung menggenggam erat-erat ‘Aku’ yang tiba-tiba bangkit kembali, namun kini punya peran yang lebih jelas, sebagai tali kekang. Sementara itu, kaum kurawa hanya bisa meringkik. Leher mereka tiba-tiba sudah dijerat, kaki menghentak-hentak, dijadikan kuda-kuda pacu untuk menjalani misi si manusia sejati. Kesadaran surga atau ‘swarga’ yang menurut sebagian orang Jawa adalah akronim dari ‘srowa-srawu sarwa lila lan legawa’ (menjalani peran kehidupan dengan ikhlas dan lapang dada).

Akhir kata, saya hanyalah seorang pengais reruntuhan peradaban para pendahulu, punya kecenderungan untuk sok tahu, layaknya suara parau dari masa lampau.

*Siap-siap menghadapi hujan hujatan.” 😎

Tentang

Cuma seorang pengelana yang bebas berkeliaran.

Ditulis dalam Khayalan, Pemikiran, Pengamatan, Umum
42 comments on “Aku, Aku, dan Aku
  1. esensi berkata:

    *moco nganthi mangap*
    *kukur-kukur gegher*
    .
    sajane, kulo yo agek ae nulis perkoro iki tithik, nanging ono sedulur sampeyan sing komplain, dadhine ra sido tak posting
    .
    eksplorasi murni sampeyan iki, Kang?
    *nganthi moco ping pindho lho aku* :mrgreen:
    *ngerti otakku ki lelet koyo codhot, eee, nulis kok yo dhowo men koyo ulo* 😎
    .
    dadi referensi aku iki, Kang
    matur suwun
    .
    NB: Alhamdulillah, ora mumet, g perlu nyang apotik :mrgreen:

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: he he he… murni dongeng pribadi. sempet baca tuh judul surat buat watonist.

  2. jakatan berkata:

    wah….. saya bacanya harus beberapa kali berhenti untuk mencoba mengerti maksudnya ……. eh tapi masih saja hanya mengira-ngira, soalnya artinya dalem banget ………..

    mudah-mudahan apa yang kuartikan sendiri bisa bener ……., sesuai dengan yang seharusnya.

    aku merasa terbantu dengan bahasa yang disajikan oleh kang siti… matur nuwun nggih kang …..

    salam,

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: makasih kembali. mana nih blognya?

  3. Rindu berkata:

    *kelelahan* baca artikelnya … sampe gak tahu musti komen apa?

    Kipas kipas 🙂

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: lho… kepanasan dong.

  4. Dimas berkata:

    assalamalaikum
    Derek numpang unjok toyone kaweroh.

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: walaikum salam. sumangga diunjuk, tamba bene ora ngantuk. :mrgreen:

  5. Dimas berkata:

    SALAM KENAL samua

    Wah tulisannya bagus banget mengandung makna yg sangat dalam.

    SALAM KENAL.

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: salam kenal juga. makasih. mana nih blognya?

  6. gentole berkata:

    Wah falsafah mistik lagi nih.

    *baca pelan-pelan, gak sabar, kehilangan jejak*

    Coba lagi deh di saat senggang.

    *beres-beres mau balik*

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: wakakak… dianggap mistikus lagi nih. silaken, sing sabar, sing tawakal. *haiyah* :mrgreen:

  7. sawali tuhusetya berkata:

    sebuah tulisan yang kaya dengan kajian dari sisi filosofi jawa yang representatif. urip mono aja nganti ngumbar angkara, sakbutuhe lan sakcukupe wae, kira2 ngono wejangane ki suryo mentaram yang masih sempat aku ingat.

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: kalo gitu silaken baca-baca lagi tautannya, pak. lumayan udah diterjemahkan. *promosi* :mrgreen:

  8. langitjiwa berkata:

    komennya nanti, mau baca dulu

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: silaken. ditunggu komennya.

  9. Achmad Sholeh berkata:

    Posting yang cukup bagus, Orang jawa memahami ajaran Agama yang diyakininya terkadang tidak pernah lepas dari budaya yang ada sebelum ajaran agama itu di yakini sepanjang tidak bertentangan saya pikir tidak ada masalah, maaf kalau tidak nyambung.

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: sepertinya memang tak bisa lepas dari lingkungan sekitarnya. dengan analogi atau simbol-simbol yg ada di dekat mereka.

  10. peristiwa berkata:

    yang lain pada lom baca tapi koment duluan, lha saya dari kemaren dah baca tapi lom koment.. :mrgreen:

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: lebih bagus lagi baca dulu semua tautan yg ada. 😎

  11. Yari NK berkata:

    Aduh gorilanya mirip saya euy! Kan…. gorilla 95% DNA-nya mirip dengan DNA manusia saya! Huehehe…… 😀

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: wakaka… emang kalo DNA sih gak jauh beda lah. :))

  12. sempet baca tuh judul surat buat watonist.
    Walah! 😯 kok diekspos?! saya dimarahi beliau lho :mrgreen: makanya dihapus :mrgreen:

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: ya tenang aja. kan udah dihapus. senang sebentar, susah lagi, lalu senang lagi. 😎

  13. galeter berkata:

    rasa merasakan ..atmosfer “ngelmu”
    👿

    salam kenal bro

    http://galeter.wordpress.com

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: salam kenal… ehm…. kayaknya tempo hari udah. :mrgreen:

  14. bisaku berkata:

    Hidup gak mesti jadi pemikiran terlalu dalam, kalau terlalu dalam jadinya kelabakan. Seperti halnya para prajurit kurapan dari pihak kurawa dan pandawa, kadang tidak tahu apa yang sedang terjadi yang penting perang dan pertahankan diri.

    Seperti halnya kini para pejuang cacing tanah, mencari dan menggeliat diantara matahari yang semakin menyengat dan menggersangkan tanah air yang semakin hari kita lupa mau apa sebenarnya … Ah, Kang … dalam banget .. toh intinya adalah perjuangan adalah berjuang. Tapi biarpun kita berjuang, tetaplah kekuasaan ada di tanganNya … seperti garis akhir untuk lomba lari, saat finish … ya finish …

    *kok gak nyambung … kabur*

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: kalo udah tau garis finisnya kan tinggal lari [barangkali]. :mrgreen:

  15. Nesia! berkata:

    jadi ingat sebuah ungkapan, “anda menjadi tidak bahagia lagi, begitu anda ingin lebih bahagia lagi”.

    itu membuat saya kdg mikir mas, neraka itu barangkali bukan suatu tempat di seberang sana, tapi api yang selalu membakar pikiran kita, dan api itu bernama keinginan.

    ini sesuatu dgn hikmah, ciee hikmah, yg saya dpt di Ilmu Bahagia Part I, bahwa kebahagiaan itu bersifat mulur, memanjang dan meningkat terus. ga ada abisnya.

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: sepertinya begitu. barangkali bisa bangun surganya pula.

  16. zal berkata:

    ::yo bener Kang, tahu, tak berarti lepas keruwetan…ya.., namun bahagia mulai terbit, jika berhasil akan menyatu ditengah hari, dan mulai meninggalkannya sampai dengan tenggelamnya mentari.. lalu menyatu dengan segala sesuatu….

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: wah yg terakhir ini kelajutannya, ya? btw, kemaren suluknya saya batalin aja. kayaknya ketinggian… malah bisa jatuh. 😎

  17. sufimuda berkata:

    Bila manusia bisa berlapang dada, berarti akan menemukan kebahagiaan dengan demikian akan menemukan juga swarga atau surga, bukan begitu mas?

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: mudah-mudahan kita kekal di dalamnya. amin.

  18. santribuntet berkata:

    Pada akhirnya upaya mengenal diri dengan kontemplasi ala kang Zal atau ala kang Siti Jenang akan dikembalikan kepadaNya.
    Bahagia jalan yang dituju, sementara jalan yang ditemppuh boleh berbeda, rupanya Tuhan punya segalanya, hingga jalan2 itu ada banyak bertebaran di muka bumi dan dimuka jiwa… 😀
    *halah* ngomong apa aku!

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: he he he… jangan-jangan tiap orang bisa nemu jalannya sendiri-sendiri, pak.

  19. saya hanyalah seorang pengais reruntuhan peradaban para pendahulu, punya kecenderungan untuk sok tahu, seperti suara parau dari masa lampau … dan melanjutkan dengan kemampuan yang dipunyai (kira-kira, lho).

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: wah bisa aja nih… :mrgreen:

  20. tren di bandung berkata:

    kedalaman perlu. keluasan juga perlu, biar ngga kaya sumur. ketinggian perlu? perlu ngga ya…??? khan ada yang takut ketinggian. ah tapi kuncinya kan manfaat kita bagi alam semesta. kita harus dalam, luas, tinggi dst asal banyak manfaatnya bagi manusia banyak.

    nyambung ide saja…

    BOM LAILATUL-QADR

    BOCAH MISTERIUS

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: makasih udah mampir. nanti saya giliran mampir.

  21. Gempur berkata:

    Kang bahasan kali ini jelas “Man Arofa Nafsahu Fa qod Arofani”.. ning tetep kawit ndhisik aku ra mudheng awakku dhewe loh kang… dadine ra ngerti pengerane sopo? Mugo-mugo ono sethithik pinaringan soko Gusti marang awakku ben mangerteni sejatine AKU iki sopo?

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: wah, saya malah baru tahu. sumangga sesarengan madosi sejatiningsun.

  22. ningrum berkata:

    wewleh sam, tak copass dulu aja ya 🙂
    Btw maksudnya judul aku, aku, dan aku? refleksi ke kitaaan yang manusiakah? aku yang manusia?
    Raksasa, Ksatria dan dewa ada di aku?
    Tak woco sik sam 🙂

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: anggep dongeng aja. tiga aku dalam satu. silaken dibaca dulu.

  23. lovepassword berkata:

    Konon neraka itu terjadi karena dua hal :
    Karena keinginan kita yang tidak tercapai
    Karena keinginan kita yang tercapai

    Siapa yang bisa membebaskan diri dari keterikatan ?

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: mereka yg tak lagi terjerat keinginan [barangkali]. :mrgreen:

  24. Herianto berkata:

    Panjang tenan, tapi tetap saja aku belum kelar untuk mengerti.
    Tulisan apik dan panjang begini butuh berapa lama meramunya mas ?

    *Bisanya cuma komen OOT nih*

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: kontemplasi *halah* berhari-hari nih…

  25. wahyu berkata:

    dalem lan abstrak.

    lho.. koq saya ada disini??
    (celingak..celinguk.. kabuur..!!)

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: muahaha…

  26. Menggugat Mualaf berkata:

    wah, ndalem mas.. 😀

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: kayaknya udah disederhanakan sekali deh. :mrgreen:

  27. Lumiere berkata:

    kok panjang sanget toh kang??! (gak cukup sekali mbacanyah… )
    *
    “Di sinilah bersemayamnya sang ‘Aku’ atau kadang disebut ‘Aku tengah’, sang pemilik alam kajiwan” nyang ndi toh kuwi?
    *
    tapi pancene otak saya makin lelet klo sudah bau2 “kejawen”, mbulet….

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: ini sudah dipadatkan. bacanya pake rasa dulu dong. kejawen dinalar doang sih malah bikin mumet.

  28. mujahidahwanita berkata:

    Wah…..sampeyan iki, kaya eyang kulo
    tulisannya kulo baca, trus kulo ceritakan ke eyang.

    Salam

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: kalo begitu, saya tidak keberatan mendapat wejangan tambahan dari eyang panjenengan. :mrgreen:

  29. pandu berkata:

    malah aku ga baca sama sekali :)) .. la wong diundang ma si jenang. tau-tau ketarik langsung ke kolom sini, ingin kasi pendapet ttg hidup.

    kira2 gini nich (gaya ustad).., barangkali HIDUP itu tidak ada kata MATI. HIDUP ya HIDUP – sesuatu yang abadi (al hayyu). lantas kalo yg sekarang ini (di dunia) yang di namakan HIDUP kenapa harus ada keMATIan ? ngonolo 🙂 ? … berarti HIDUP itu harus SESUATU yg ABADI tak terkikis oleh apapun. inilah keterbatasan BAHASA makhluk u/ mengungkapkan. karenanya kita butuh SUMBER yg HAK (dialah … ialah ALQUR’AN). diterangkan ttg keHIDUPan yang seSUNGGUHnya adalah HIDUP adalah setelah adanya keMATIan (akhirat) alam yang HAK. karena disana kita berada dlm alam DIMENSI-NYA.

    Kurang lebihnya mohon dibenarken … (tepuk tangan dong ah …) 😦

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: 😎

  30. pengembarajiwa berkata:

    Saya nggak ngerti bahasa Anda, sebab saya bukan orang jawa.
    Tapi ceritanya seperti wayang berlaku dimainkan dalang ya……….???

    Ternyata wayangnya itu si dalang ya…???

    Ternyata yang berlaku juga si dalang ya…???

    Ternyata yang bersuara pun dalang juga ya….???

    Ternyata habis cerita, wayang masuk dalam “kotak” ya….?

    Ternyata…..

    Ternyata…..

    Ternyata….. (Ter + Nyata) ya….?

    Ter = Terang nya Nur itu
    Nyata = ADA

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: :mrgreen:

  31. […] berwujud manusia sesungguhnya cahaya). ‘Ingsun’ telah saya simbolkan sebagai sosok Sri Kresna, maka sang cermin bisa disebut ‘kaca paesan’ (cermin rias). Alat bantu untuk melihat […]

  32. pandu berkata:

    HAMBA yg trCIPTA TUHAN yg menCIPTA. TUHAN n HAMBA ad 2 (dua) pengertian. sulit u/ diungkap dgn bahasa, bisa2 qt trjebak dg paham PANTHEISME (penyatuan TUHAN dg DIRI) sprt GULA dg MANISnya .. “tipis” sekali. bukan wahdhatul WUJUD (apa bedanya dg FIR’AUN), tapi yg mungkin benar adlh wahdhatus SYUHUD.

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: ya, manunggal beda dengan nunggal dan tentu bukan tunggal.

  33. Dewi berkata:

    Assalamualaikum,

    jiwaku yang haus dan merinduNya seperti menemukan kesegaran dengan membaca artikel ini…
    tapi minta penjelasanya dong mengenai “mati sakjeroning urip” apakah seperti Zuhud begitu ? (hati kita yg menepi ditengah keramaian nafsu dunia …..)
    salam kenal yach…..
    wasalam,
    dewi

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: salam kenal. kurang lebih seperti itu. kalo tepatnya memang sulit dijelaskan. ada yg menyebut sujud jiwa itulah kematian yg dimaksud.

  34. sabdalangit berkata:

    Rahayu
    Sugeng tetepangan mas Sitijenang

    Blog yang berkualitas, menyajikan nuansa berbeda
    sukses ya mas…
    nuwun, saya bisa nambah kawruh banyak..

    http://sabdalangit.wordpress.com
    Garis Besar Ajaran Syeh Siti Jenar
    Kejawen

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: salam kenal, mas. saya taut balik nih.

  35. illuminationis berkata:

    Menurut Abhinavagupta, Bharatayuda bukan soal “good vs evil” atau soal “siapa menang siapa kalah”. Pesan yang mau disampaikan sebenarnya adalah santarasa, salah satu dari 9 rasa yang bisa dialami dalam dramaturgi. Definisi singkat santarasa: the (aesthetic) experience of tranquility.

    Santa consists exclusively in the destruction of any self *.

    Dua hal yang mendominasi epos Mahabharata menurutnya adalah santarasa dan moksa.

    Pandawa yang protagonis mengalami penderitaan yang “tidak selayaknya” dijalani, sementara Kresna akhirnya meninggal di tangan seorang pemburu, membuat Abhinavagupta menarik kesimpulan bahwa “everybody’s end was pathetic”*. Dengan kata lain, epos yang panjangnya minta ampun itu mau bilang bahwa namarupa akhirnya cuma delusi. Termasuk “aku” pun adalah delusi.

    *Dikutip dari: Masson, JL and MV Patwardhan. Santarasa and Abhinavagupta’s philosophy of aesthetics. Poona: Bhandarkar Oriental Series, 1969,

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: lha kalo aku delusi, berarti gupta bisa jadi juga ilusi. :mrgreen:

  36. illuminationis berkata:

    komentar OOT, mungkin bisa jadi ide ntuk postingan berikutnya,

    Tahu ga kenapa raja-raja Jawa klaim bahwa mereka garis keturunan dari Arjuna? Kenapa ga Yudhistira, Bima, Sangkuni atau Semar tapi kudu Arjuna???

    P.S.: akronimnya ngeri deh SJ, ga sekalian cari nick yang disingkat jadi OSB? (ini baru sangar) 😀

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: wah kalo masuk ke silsilah raja saya angkat tangan deh. wong ada jalur dari sang hyang wenang segala je.. emang OSB apaan si? :mrgreen:

  37. tomy berkata:

    sik ah tak wacane sikik mumpung ora akeh gaweyan 😀
    komene suk neh ae

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: silaken… ada yg baru tuh.

  38. illuminationis berkata:

    OSB = the Order of Saint Benedict, creme de la creme tarekat intelektual tradisi Katolik, para Jesuit (SJ) saja yg statusnya sangat bergengsi di Indonesia tidak bisa nandingin :mrgreen:

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: waduh… gak kuku… 😛 Jesuit itu kayak yg di Prancis jaman Louis XIV, ya?

  39. Rukia berkata:

    Bagussssssss……
    membuatku berpikir…..
    Bisakah ‘Aku’ menjadi mentari?
    Tak hanya untuk ‘Aku’
    Tapi juga untuk orang-orang di sekitar ‘Aku’

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: teorinya sih semua orang bisa. mudah-mudahan… 😎

  40. illuminationis berkata:

    Tak link yo postingannya, biar saya ga repot nerangin konsep pasrah/ nrimo, suruh orangnya baca sendiri di sini 😎

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: hah? silaken aja. sapa emangnya?

  41. […] makhluk yang memiliki jiwa dan ruh, tiap orang konon memiliki kemampuan supranatural, paranormal, atau psikis (psychic) bawaan. Namun, […]

  42. Abdul Haris berkata:

    Uenak tenan,ijin bebagi picx sobat thanx

Tinggalkan komentar