Redakan Marah dengan Mawas Diri (Copas)

Marah adalah salah satu bentuk emosi negatif. Itu sebabnya kita perlu memiliki keterampilan meredakan rasa marah. Selain meredakan marah secara fisiologis, langkah lain yang bijaksana adalah mawas diri. Secara tradisional hal ini diajarkan oleh Ki Ageng Suryomentaram.


Bila menengok berbagai kasus kekerasan (yang tentu saja dipicu oleh kemarahan), kita dapat menganggap marah sebagai emosi yang berbahaya. Namun, sebenarnya keberadaan emosi marah itu sendiri merupakan hal yang normal dalam hidup manusia. Marah merupakan reaksi terhadap keadaan yang tidak diharapkan.

Marah: sah; Melampiaskan marah: tidak sah

Kita sering marah dalam hati bila menemukan lingkungan sosial yang sudah tidak memedulikan etika/moral, atau saat pemerintah terasa menindas rakyat. Kita pun memahami ketika rakyat miskin marah dan menangis meraung-raung karena rumahnya digusur dengan semena-mena oleh aparat. Kita juga merasa berhak marah bila diserang tanpa sebab yang kita mengerti. Masih banyak lagi hal yang dapat menunjukkan bahwa marah itu sah. Pemahaman bahwa marah merupakan hal yang normal dalam hidup manusia itu cukup penting, supaya kita tidak begitu saja menekan dalam-dalam ketika emosi itu muncul. Menekan marah tidak berarti meniadakan rasa marah. Marah yang ditekan justru akan menghasilkan konflik batin yang membahayakan kesehatan fisik dan mental individu.

Di sisi lain, seperti yang telah diuraikan dalam tulisan edisi sebelumnya, melampiaskan marah juga bukan merupakan solusi yang konstruktif terhadap marah. Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa kita perlu menerima dan mengakui bila perasaan marah bergejolak dalam diri kita. Meski demikian, kita juga perlu mengendalikannya agar marah itu dapat diekspresikan secara konstruktif: tidak melumpuhkan akal sehat dan menghasilkan tindakan positif untuk mengubah keadaan menjadi lebih baik. Penting untuk selalu mengingat pesan Aristoteles, “Marah sebaiknya hanya dilakukan pada orang yang tepat, dengan kadar yang sesuai, pada waktu yang tepat, demi tujuan yang benar, dan dengan cara yang baik.” Selain itu kita juga dapat mengikuti beberapa langkah untuk meredakan amarah yang disarankan Goleman berdasarkan beberapa penelitian.

Langkah-langkah tersebut antara lain: mengkritisi/menilai pikiran kita sendiri yang memicu lonjakan marah; memahami orang lain; meredakan secara fisiologis dengan menunggu habisnya lonjakan adrenalin, berolahraga, dan rileksasi (menarik napas dalam dan pelemasan otot-otot). Meredakan marah secara fisiologis merupakan suatu pilihan yang sangat penting dilakukan segera ketika kita telah mengalami emosi marah. Sementara langkah kognitif, yakni mengkritisi/menilai pikiran-pikiran kita yang memicu lonjakan marah, serta memahami orang lain, merupakan langkah penting yang lain yang berkaitan dengan kebijaksanaan dalam mengelola hubungan dengan orang lain.

Langkah kognitif tersebut merupakan langkah yang tidak mudah. Namun, bila keterampilan ini dimiliki oleh seseorang, sebenarnya ia dapat menjadi pribadi yang efektif dalam mengelola hubungan dengan orang lain dan lebih bahagia. Langkah tersebut memiliki kesamaan dengan ajaran Ki Ageng Suryomentaram untuk meredakan marah, atau secara umum untuk hidup bahagia.

Ketidaksadaran

Banyak hal dapat menunjukkan bahwa marah itu sah, sehingga membuat kita merasa pada tempatnya untuk marah. Contohnya, seorang gadis yang marah kepada laki-laki yang dianggap telah mempermainkannya itu terasa sah. Orang yang telah merasa dibohongi juga tampak sah kalau marah. Mereka yang keluarganya meninggal dalam kecelakaan transportasi juga layak marah kepada pihak-pihak yang dianggap bertanggung jawab. Namun, sebenarnya penyebab marah tidak selalu dapat kita sadari. Begitu banyak alasan yang dapat memicu kemarahan seseorang, baik penyebab dari luar maupun dari dalam diri sendiri.

Polisi yang marah dan membunuh atasan yang memutasinya ke kota kecil, merasa sah (pada tempatnya) untuk marah dan melukai atasannya itu karena ia melihat penyebab tunggal dari kemarahannya, yakni atasan yang terasa sewenang-wenang. Ia tidak menyadari adanya penyebab-penyebab yang masuk akal yang menghasilkan keputusan mutasi baginya. Ia juga tidak menyadari bahwa ia memiliki kepentingan pribadi yang kuat untuk tetap ditempatkan di kota besar.

Seseorang begitu mudah marah dan menyalahkan situasi bila ia mengalami kegagalan dalam hidupnya: kegagalan dalam karier, perkawinan, menjalin hubungan, dll. Yang lebih sering terjadi adalah bahwa kita merasa paling benar sendiri, sehingga merasa berhak untuk marah. Begitu mudahnya kita menyalahkan pihak lain dan merasa diri paling benar, sehingga Suryomentaram memberikan istilah untuk jiwa yang marah itu dengan sebutan Si Merasa Benar.

Menurut Suryomentaram, marah merupakan salah satu rasa yang melukai. Padahal, dalam hubungan interpersonal, bila kita melukai orang lain, diri sendiri pun terkena luka. Ada cara yang dapat dilakukan untuk meredakan marah, yaitu dengan mengenal rasa orang lain.

Mengenal Rasa Orang Lain

Mengenal rasa orang lain, dalam pengertian psikologi modern berarti berempati. Tidak semua orang mudah mengerti rasa orang lain (berempati). Suryomentaram mengungkapkan: ”Hal yang menghalangi seseorang untuk mengetahui dan mengerti rasa orang lain adalah rasa diri sendiri. Bila rasa diri sendiri yang menghalangi tersebut tidak diketahui, orang tidak mungkin mengetahui rasa orang lain. Jadi, supaya dapat mengetahui rasa orang lain, terlebih dahulu orang harus mengetahui rasa diri sendiri yang menghalangi”. Artinya, ada hal yang menghalangi kemampuan seseorang untuk berempati, yakni melekatnya perasaannya sendiri. Namun, kita sendiri belum tentu mengerti apa yang ada di balik perasaan kita sendiri.

Supaya kita dapat berempati, terlebih dahulu kita perlu mengetahui dan mengenali perasaan kita sendiri yang menjadi penghalang empati tersebut. Mengetahui rasa diri sendiri ini dinamakan pengetahuan atau pengertian pribadi (Jawa: pangawikan pribadi). Yang dimaksudkan dengan mengetahui rasa diri sendiri adalah kita mengenali apa saja yang kita rasakan, apa saja yang kita inginkan, dan apa saja yang kita pikirkan. Hal ini berarti melakukan mawas diri. Dengan mengetahui perasaan-perasaan (marah, terkejut, kecewa, sedih, dsb), keinginan-keinginan (ingin kaya, ingin memiliki nama baik, ingin cepat sukses, dsb), dan pikiran-pikiran, kita juga mudah memahami rasa orang lain.

Kita dapat merasakan bahwa orang lain mungkin juga memiliki rasa yang sama dengan diri kita. Artinya kita mulai berempati. Dengan demikian, selanjutnya kita dapat merasa sama dengan orang lain, lalu kemarahan kita dapat mereda karenanya. Langkah tersebut bukankah sama dengan apa yang diungkapkan oleh Goleman mengenai langkah mengkritisi / menilai pikiran-pikiran kita yang memicu lonjakan marah, serta memahami orang lain? Nah, kita menemukan sebuah kiat yang tampaknya bersifat universal untuk meredakan marah, yakni mawas diri dan memahami orang lain.

* Copas dari: http://www.gayahidupsehatonline.com/ *

Tentang

Cuma seorang pengelana yang bebas berkeliaran.

Ditulis dalam Filsafat, Pemikiran, Pengamatan, Renungan, Umum
37 comments on “Redakan Marah dengan Mawas Diri (Copas)
  1. suwung berkata:

    weh diriku ngak pernah marah
    kalo dimarahi seriiiiiiiiiiiiiiiinnnnnnnnnggggggggggggg

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: lha itu risiko soewoeng kayaknya… 😛

  2. Ngabehi berkata:

    “Rata rata seseorang berhak marah kepada orang lain karena dia merasa pihak yang benar (merasa benar, paling benar)”
    Ini yang sedang menjamur di negeri ini, ini yang paling banyak terjadi, dan celakanya faham yang beginian sungguh sangat berbahaya.

    Sungguh ter la lu…….

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: bahkan orang yg tadinya tidak merasa paling benar pun kadang kepleset juga…. gara-gara ketemu si merasa benar itu.

  3. danalingga berkata:

    Katanya sih marah itu wajar. Kalo bisa mengendalikan marah malah dituduh sebagai malaikat, bukan manusia lagi tuh. 😀

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: he he he… sepertinya copas ini telat banget, ya. mestinya pas anget-angetnya tuh… :mrgreen:

  4. Sawali Tuhusetya berkata:

    saya juga sadar kalau maraj yang dilakukan dg cara yang tdk sehat dan konstruktif bisa berakibat fatal, mas jenang. tapi sbg manusia biasa, sepertinya bukan hal yang mudah utk bisa mengendalikannya, kalau saya biasanya cenderung menggunakan cara2 spiritual *halah* dg mengambil air wudlu, lantas berdoa. perasaan jadi sedikit tenang. tapi repotnya, amarah tak juga bisa dikendalikan ketika rasa itu bener sdh mencapai puncaknya. selamat tahun baru, mas jenang, semoga kita bisa lebih mengekspresikan amarah kita secara sehat dan konstruktif pada tahun 2009. hiks, kok harus menunggu 2009, hehehe …

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: emang sulit dicegah sih, tapi setidaknya berusaha gak tenggelam dalam rasa marah aja udah bagus…

  5. kweklina berkata:

    “…mawas diri dan memahami orang lain”

    tak mudah untuk menguasi dua ilmu ini, dalam dunia persilatan eh..salah kehidupan…

    Mawas diri apa sama dengan pengendalian diri?

    Hidup dengan rasa cinta (dgn Tuhan, sesama dan lingkungan alam) , kedekatan dengaNya (Tuhan) dalam doa dan agama sehingga takut akan dosa akan menjaga perbuatan dab berusaha untuk mengendalikan diri dan sikap toleransi kayak juga perlu untuk menjaga rasa marah muncul.

    Selamat menikmati Tahun Baru yang menyenangkan, ya! 😀

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: mawas diri artinya kurang lebih mengawasi diri. arahnya memang pengendalian setelah mampu mengawasi. selamat tahun baru juga… 😎

  6. lovepassword berkata:

    Mawas diri apa sama dengan ngaca? Cermin ajaib – cermin ajaib siapakah manusia terganteng semuka bumi ?

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: cermin terbalik maxutnya? 😎

  7. winar berkata:

    kalau menurut saya sih marah adalah salah satu jalan untuk mencapai ketenangan! :mrgreen:

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: pelampiasan itu kan baru reda kalo korban udah tak berdaya… 😀

  8. tomy berkata:

    dengan pengawikan pribadi kita mampu untuk melihat ternyata ada dua sisi rasa kita yaitu kemelekatan dan penolakan. dalam diri kita dan orang lain sama saja keduanya selalu berebut menguasai rasa.

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: masih mendua berarti… memang sepertinya manusia paradoks itu sendiri.. *haiyah*

  9. santribuntet berkata:

    Tidak kurang pepatah, petitih, pituah dan petuah dari orang2 yang memiliki naluri kehidupan yang mengalir seperti air. Ayat, quote, dan lain2nya tapi yang namanya marah begitu mudah dan begitu gampang tersulut….

    Sebab ilmu marah dimiliki konon oleh iblis… dan iblis adalah makhluk yang lebih lama mengabdi pada Tuhan.

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: mungkin karena tiap manusia harus belajar dari awal semua. sayangnya naluri si merasa benar ini kayaknya enggan belajar dari pengalaman orang terdahulu [barangkali]. jadi inget mo bikin tulisan baru [sendiri]… 😀

  10. mujahidahwanita berkata:

    Marah setiap orang pasti mempunyai rasa marah

    Tetapi marah yang berlebihan nggak baik kali ya?

    Saya rasa “kesadaran” sangatlah penting untuk menanggulangi rasa marah

    Sadar bahwa kita seorang Insan yang” Laa Hawlaa Wa Laa Quwwata Illa Billa hil ‘Aliyyil ‘Adziiim”:smile:

    Salam

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: ah, kesadaran itu… nanti mungkin saya tulis… sapa tau aja ada yg cocok. :mrgreen:

  11. sabdalangit berkata:

    Sugeng warsa enggal 1 sura 1942 taun je, ki sanak Sitijenang…
    Mug Gustiallah tansah paring kawilujengan lan karahayon dumateng kito sedoyo…

    Tulisan yg reflektif kontemplatif..!!
    Sy hanya ingin menggarisbawahi apa yg telah dikemukakan Mas Sitijenang yg diuraikan secara rinci runtut, dan mendalam. Dan meresume, kenapa Mas Sitijenang menekankan pentingnya mawas diri sbg peredam amarah dalam tulisan di atas.

    Mawas diri atau MULAT SARIRA, sama halnya menahan diri, atau membawa diri. Yang ditahan meliputi semua nafsu negatif, termasuk emosi (nafsu angkara), yang dibawa adalah diri pribadi agar mengikuti kehendak jiwa/hawa/nafs/nafsu yg positif, yakni nafsu yg patuh pada sukma sejati.
    Konsekuensinya, nafsu/nafs/hawa/jiwa harus meninggalkan kecenderungan jasad/badan/bumi.
    Amarah adalah pemenuhan kepuasan jasad, kecenderungan badaniah. Prihatin (perih di batin) adalah sikap tidak menuruti kepuasan jasad, sehingga merasakan perihnya dari hati hingga sampai batin.
    Nah, mawas diri termasuk prihatin. Sebab mencakup peredaman 3 macam ke akuan yg paling besar yakni; golek menange dewe (cari menangnya sendiri), golek benere dewe (cari benernya sendiri), golek butuhe dewe (mengejar kepentingan pribadi) atau oportunisme.
    Sedangkan marah untuk membela kebenaran, ia tetap saja merupakan nafsu angkara murka. Karena dalam kebenaran sejati tidak ditemukan amarah, yg ada adalah KETEGASAN.

    Rahayu
    sabdalangit’s web

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: sugeng warsa enggal… ini bukan tulisan saya sih, cuma copy & paste (copas). tapi opini pribadi saya sih kurang lebih sama dengan panjenengan, jadi setuju… makasih tambahannya 😎

  12. airlangga89 berkata:

    So, don’t be angry…
    And I Just Wanna Say :
    “Happy New Year 2009”

    Salam kenaaallll…. 😉

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: salam kenal juga. makasih udah mampir.

  13. Yap, tugas kita mengendalikan marah. Marah adalah bagian diri, memenej tantangannya.

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: ya, itulah ujiannya… konon katanya.

  14. Rindu berkata:

    kang Jenang marah sama saya yah? koq gak pernah mampir lagi ke teras saya … 😦

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: he he he… lha kirain udah hiatus.

  15. langitjiwa berkata:

    Mas, selamat Tahun Baru.
    salam sejahtera selalu.

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: salah sejahtera juga.

  16. zal berkata:

    ::kalau carnagie mengajarkan berhitung untuk mengendalikan marah…he..he..
    ;:Kalau nabiullah Muhammad SAW, pernah didatangi, darii depan, samping kiri dan samping Kanan Beliau dan ditanyai Apa Agama itu..??? jawab beliau akhlaq yang baik…sewaktu ditanyai dari belakang beliau menjawab, ..”apakah engkau tidak tau, itu agar engkau jangan marah…’ maka tinggalkan marah dibelakangmu..maka engak berakhlaq baik…keknya..sich.. 🙂
    ::kalau aku sedang marah, tak tonton ae diriku sing marah kui…pada saat marahnya, menyebutkan yang gak dikerjakannya…tak elingke..mbok sampean nyadar…lha wong sampeyan gak ngelakoni pisan koq.., kadang memang marah adalah kewajiban diri untuk melakoninya…untuk suatu pertemuan yang melezatkan…bukannya masakan yang lezat itupun rela dipanggang api…???

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: iya sih, tapi kan gak sampek gosong… :mrgreen:

  17. achmad sholeh berkata:

    Rasa Marah memang ada dan akrab dengan kita, tapi mengendalikan amarah adalah sesuatu yang sulit tapi bisa dilakukan

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: sulit gak sulit kayaknya… tergantung apakah sudah terlatih. itupun soal tertentu juga kayaknya.

  18. frozen berkata:

    huweleh! copy paste tho genahe?
    .
    mas jenang, avatar sampeyan elek!
    mas jenang, njenengan yen komen kok siji-siji, mboten sepertos kula, dadine mboten kesel lan sengkleh, njenengan kurang gawean!
    .
    *nah, nesu ra yo? bakal nesu ra yo?* 😀
    .
    *mlayu!, sakdurunge digacar* :mrgreen:

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: biasa… sambil ngumpulin referensi copas dulu… 😎

  19. regsa berkata:

    bisakah rasa marah dilampiaskan ke kegiatan positip, semisal membersihkan parit ato menyapu jalan ya, nJeng Jenang ?

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: itu kan pelampiasan aja, bukan pengendalian kayaknya, walaupun masih mending deh… :mrgreen:

  20. sufimuda berkata:

    Melampiaskan marah dengan ibadah gmana Mas Jenang? 😀

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: ibadahnya jadi pelampiasan doang dong… 😀

  21. Yari NK berkata:

    Huahahaha…… kalau saya lagi marah, biasanya saya sering buang angin, minimal perut jadi lega setelah anginnya keluar….. Daripada melampiaskan marah nggak karuan mendingan buang2 angin kan?? 😀

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: wah itu dari marah bisa langsung ketawa dong… muahahaha… :mrgreen:

  22. ara berkata:

    🙂
    msh bole mesam mesem g?

    terimakasih sudah saling mengingatkan.

    *itulah gunanya ada kawan*

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: he he he… senengnya kok anonim. bikin blog dong. 😛

  23. hembusankesturi berkata:

    marah..?? waduh.. saya susahnya untuk mengikis salah satu sifat mazmumah hati ini mas. marah, benci, emosi, ego dan teman2nya itu… ntahlah..

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: perlu latian melihat apa latar belakang dari marah itu. katanya sih lumayan membantu.

  24. erander berkata:

    Saya pernah mendengar nasehat yang kira² bunyinya begini: “Marah justru membuat kita lebih depresi .. sebaiknya yang kita lakukan adalah menarik napas dalam² agar oksigen dapat masuk kedalam tubuh.” .. begitu katanya sih pak. Btw .. saya sendiri masih suka marah² tuh pak 🙂

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: napas itu kayaknya simbol deh… masuk ke dalam jiwa ngkali maksud aslinya.

  25. udienroy berkata:

    betul mas, eh pak, marah itu juga harus ada, pada tiap2 inzan, tapi marah nya bukan berarti sambil mengamuk membabi buta, saya rasakan jika habis marah sama keluarga, terasa ada rasa timbul sayang yang mencolok, mungkin benar juga apa yang di katakan orang2, yang katanya marah itu membangun kasih sayang, benarkah?

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: wah kalo kasih sayang setelah marah mungkin secara bawah sadar adalah rasa penyesalan…

  26. illuminationis berkata:

    Menurut Suryomentaram, marah merupakan salah satu rasa yang melukai. Padahal, dalam hubungan interpersonal, bila kita melukai orang lain, diri sendiri pun terkena luka

    Kalo belajar mawas diri, akan sadar bahwa saat marah, sebelum melukai orang lain, kita melukai diri sendiri terlebih dahulu. Lagipula luka diri sendirinya lebih besar daripada luka orang lain.

    Dengan mengetahui perasaan-perasaan (marah, terkejut, kecewa, sedih, dsb), keinginan-keinginan (ingin kaya, ingin memiliki nama baik, ingin cepat sukses, dsb), dan pikiran-pikiran, kita juga mudah memahami rasa orang lain.

    Lha betul sekali itu! Makanya belajar observasi emosi diri sendiri saat meditasi (bukan diumbar atau dialihkan atau ditekan ke bawah sadar). Kata orang bijak, jadi tidak kagetan :mrgreen:

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: mawas diri sepertinya bisa diartikan “mengawasi diri”. melukai diri dulu itu juga disebut ‘tepa salira’, ‘ditepakke marang salira’ atau tenggang rasa *halah rasa lagi* :mrgreen:

  27. SufiMuda berkata:

    Kalau sekali-kali marah boleh donk 🙂

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: :mrgreen: wajar tapi [katanya sih] mengikuti rekomendasi marah itu yg membahayakan.

  28. rudi berkata:

    @SJ
    Saya punya cerita soal marah:

    Dikisahkan ada seorang lelaki kasar yang sering marah sedemikian menyakitkan hati orang lain. Suatu kali ia demikian marahnya sehingga akhirnya dirinya pun menyesal dan tidak memaafkan dirinya sendiri.

    Kemudia ia meninggalkan kampungnya dan tinggal seorang diri di dekat sebuah sumur di gurun. Setiap kali ada orang lewat, ia mengundang mereka mampir dan menimba air untuk mereka minum meskipun air sumur itu keruh dan rasanya kurang enak.

    Suatu hari mampir seorang penunggang kuda yang tetap di atas kudanya sambil menatap congkak. Lelaki penunggu sumur itu menimba air, menuangkan ke mangkuk dan memberkannya kepada penunggang kuda itu, yang dengan kasar menepiskannya: “Air kotor seperti itu kau berikan kepadaku?”

    Seketika itu juga si lelaki penunggu sumur melompat menjatuhklan si penunggang kuda, mencekiknya hingga tewas. Menyadari apa yang telah diperbuatnya lelaki kasar ini terduduk dan menangis. Lama ia menanggis hingga kemudian datang rombongan besar berkuda. Salah seorang dari mereka berseru: “Bagus kisanak. Kau telah menewaskan orang yang telah membunuh raja.”

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: result justify the meaning?

  29. si rudi berkata:

    @SJ
    Ini dongeng yang mengandung simbol-simbol purba (arketip). Mengkaji dongeng lumayan tricky. Tokoh-tokoh dalam dongeng lebih cocok diinterpretasikan sebagai aspek-aspek dalam diri satu orang manusia.
    – Raja adalah sesuatu yang berharga, mungkin citra diri, mungkin nilai-nilai
    – Sumur yang airnya keruh adalah jiwa yang mengalami kepahitan (tau kan orang yg telah menjadi korban, sedemikian rupa sehingga kata-katanya selalu sinis)
    – Padang gurun adalah kesendirian tempat manusia berhadapan dengan dirinya sendiri, juga berarti tempat percobaan/ujian.
    – Lelaki sombong mewakili kesombongan dalam diri manusia
    – Rombongan penunggang kuda mewakili penerimaan, dukungan, keseimbangan baru.

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: wah ini pasti bukan dongeng dari jawa :mrgreen:

  30. Mazadjie berkata:

    pernah baca suatu pelajaran begini :
    ada seorang bapak mengajari anaknya yang suka marah, sang bapak memberikan paku besar sebanyak 40 biji, sambil berpesan :
    “Nak kalo kau ingin marah, tancapkan satu paku ini pada dinding papan itu”
    Sang ANak melaksanakan pesan tersebut, sampai 40 paku habis, lalu lapor ke bapaknya :
    ” Yah, seluruh paku telah habis aku tancapkan di papan itu, dan aku telah memahami suatu hal bahwa marah itu sangat melelahkan, dan aku sekarang sudah male untuk marah yah”
    Jawab sang bapak :
    “bagus nak, nanti kalo kau masih punya keinginan untuk marah, maka setiap kau mau marah, cabutlah satu paku yang telah kau tancapkan di papan itu”
    Si anak pun melaksanakan selama bertahun tahun, sampa kahirnya paku di papan tercabut seluruhnya, lalu dia pun lapor ke bapaknya :
    “Yah, terimakasih engkau telah memberikan aku pelajaran berharga, dengan menancapkan dan mencabut 40 paku besar dipapan itu, sekarang aku sudah sangat sulit untuk bisa marah”
    Jawab sang Bapak :
    “Bagus nak, engkau telah berhasil mengambil hikmah dari pelajaran itu, tapi ketahuilah nak dan lihatlah lubang lubang dipapan itu..!,
    mengobati orang yang suka marah lebih mudah dibanding kan dengan mengobati luka pada orang yang terkena akibat marah.”
    “Iya Ayah, aku sekarang telah paham” jawab sang anak

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: he he he… kisah yang menarik. 😎

  31. kangBoed berkata:

    jika kita bermain rasa, naik turunnya rasa kita perhatikan dan komposisikan, terutama permukaannya kita jaga terus biar tetap tenang halus dan tak bergelombang mungkin amarah akan terkendali dan tak akan meledak ledak eling lan waspada gitu loch … he he
    sampurasun mas jenang

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: di pusat angin topan kondisinya konon sangat tenang.

  32. jiwakelana berkata:

    Aristoteles “marah sbaiknya dilakukan pada orang yg tepat, dgn kadar yg sesuai, pd waktu yg tepat, demi tujuan yg benar, dan dgn cara yg baik”. Sepertinya hal ini jarang terjadi. Ada kalanya org marah oleh sebab siapa dan kepada siapa, tdk perduli dmana saja ketika luapan marah itu memuncak. Satu hal lagi, bnyak yg namanya marah itu dilakukan dgn cara yg tdk baik, rata2 mewujudkannya dgn mencak2 (satu2nya marah yg baik yg saya kenal hanya marahalim tetangga depan rumah). Hal lain saya pribadi sering marah pada diri sndiri, sering mengutuk kebodohan saya. Salam kenal mas.

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: kalo marah dimaknai lebih dari sekadar mengumbar hawa nafsu, kayaknya memang ada marah yg dilakukan dengan cara yg baik.

  33. marsudiyanto berkata:

    Saya marah pada diri sendiri, knapa bisa terlambat komentar di sini…

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: he he he… dalam sebuah halte tidak ada istilah terlambat. semuanya cuma numpang lewat… :mrgreen:

  34. adefadlee berkata:

    marah itu karena kita merasa kedudukan kita lebih tinggi daripada orang lain. sebagai seorang hamba, harusnya kita merasa senantiasa merasa malu di depan Tuhan, merasa diri lemah di depan-Nya sehingga seberat apapun yang menimpa kita, kita merasa kita ini memang adalah hamba-Nya, yang lemah, kita tidak akan berani marah karena perasaan hina diri di depan Tuhan yang terlalu menyelubungi hati kita….

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: bisa juga karena merasa terganggu. hina di hadapan Tuhan itu kayaknya sih udah banyak, tapi biasanya tidak di hadapan manusia lain.

  35. sigid berkata:

    Saya ndak marah lho pak Jenang … :mrgreen:

    Betul-betul betul, orang marah itu memang memiliki kecenderungan “Si Merasa Benar” dan lebih lagi sepertinya untuk mau memahami orang lain, kayaknya gengsi ya si pemarah itu.

    Soalnya kalo bisa paham, ntar ndak gak jadi marah :mrgreen:

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: mungkin juga karena merasa perlu “meluruskan” orang lain, tapi maksa. :mrgreen: lha… soal memahami orang lain itu… coba liat blog islamabangan deh. 😎

  36. ketika teman saya terus2an meledek saya dengan sebutan2 yang tidak menyenangkan sekalipun, saya berusaha tidak marah…

    ketika saya sadar teman saya hanya berlaku baik pada saya ketika dia butuh saya pun, saya tidak marah…

    hanya saja, ketika seseorang mengkhianati kepercayaan saya, maka saya marah…

    jadi marah saya ituh… occassionally? 😉

    sumpah pak! saya tidak lagi marah pas nulis komen ini 😛

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: manusiawi katanya sih. 🙂

  37. […] Mentaram dalam diri manusia ada sang ‘Aku’ dan dia punya berbagai kecenderungan seperti selalu merasa benar, merasa paling kuat, berkuasa, dll. Padahal, kecenderungan ini menurut orang-orang Jawa (jadul) […]

Tinggalkan Balasan ke sabdalangit Batalkan balasan