Menundukkan Naluri, Mendirikan Nurani

Dalam upaya untuk mengenali jati dirinya, orang Jawa punya banyak cara. Salah satunya adalah dengan berpuasa. Dalam kultur Jawa ada beragam bentuk dan tata cara puasa. Termasuk di dalamnya puasa Ramadan yang tiap tahun juga dijalankan orang-orang Jawa pemeluk agama Islam. Kata puasa dalam dialek Jawa biasa disebut ‘pasa’ dan diberi akronim untuk menjelaskan artinya. Saya hanya tahu dua di antaranya.

‘Pasa’ sebagai akronim dari ‘tapa rasa’ dan ‘tapa kuasa’. Arti bertapa setahu saya salah satunya adalah menyingkir / menghindari. Jadi, tapa rasa memiliki arti menghindari rasa, sedangkan tapa kuasa bisa diartikan menyingkir dari kuasa. Namun, bertapa bukan berarti orang yang menyingkirkan rasa atau kuasa sama sekali. Mungkin lebih tepat disebut menundukkan rasa [rendahan] dan kuasa [rendahan juga]. Maksud istilah tersebut ada kaitannya dengan pemahaman orang Jawa mengenai alam kejiwaan.

Konon jiwa manusia pada dasarnya selalu diisi oleh dua suara yang saling ingin menguasai. Satu suara berasal dari nurani, sedangkan satu lagi bersumber dari naluri. Sudah menjadi keniscayaan bahwa jiwa manusia selalu dalam posisi memilih satu di antara dua pihak yang cenderung saling berseberangan. Boleh dibilang jiwa adalah medan pertempuran dua kubu yang masing-masing saling berusaha mengalahkan. Di alam ini pula letak nalar manusia, sebuah perangkat yang sama-sama bisa digunakan oleh dua belah pihak. Karena itu, [katanya] manusia kadangkala mengalami keragu-raguan atau ambigu. Sebabnya, masing-masing suara punya kemampuan untuk memberi argumen yang relatif sama logisnya.

Sebenarnya [konon] baik suara naluri maupun nurani berisi kebutuhan dasar manusia untuk melangsungkan hidup. Tapi, naluri berada di level terendah, yaitu tubuh fisik manusia. Sementara itu, nurani berasal dari keberadaan manusia yang tingkatnya lebih tinggi, lebih dalam. Dua suara tersebut berasal dari kehendak-kehendak yang berasal dari dimensi yang berbeda. Kehendak raga yang cenderung mirip insting kebinatangan, keras, atau rendahan biasanya dibahasakan dengan ‘karep’, sedangkan kehendak yang lebih tinggi atau lembut disebut ‘sir’. Kehendak yang lebih tinggi diyakini lebih dekat dengan kehendak Tuhan. Oleh karena itu, suara nuranilah yang harus lebih dulu didengar, sedangkan naluri diarahkan hanya untuk menurut kehendak yang lebih tinggi, seadanya, sebutuhnya, atau secukupnya.

Di sinilah perlunya upaya untuk melemahkan suara naluri / hawa. Salah satu caranya dengan melemahkan raga atau berpuasa raga. Dengan menundukkan kekuatan raga seorang manusia diharapkan menjadi lebih peka menangkap suara atau mengikuti kehendak nurani / rasa. Walaupun sering disebut peperangan atau pertempuran dalam diri, tujuannya bukan untuk mematikan kehendak hawa, tapi hanya untuk melemahkan atau menundukkan saja. Hal ini tentu tidak bisa dilakukan dengan seketika. Perlu melalui tahapan proses beberapa waktu lamanya, perlu latihan. Bila hawa sudah berhasil tunduk seorang manusia diharapkan mampu mendirikan nuraninya. Mencapai kesadaran nuraniah, lebih tenang, lebih lembut, dan lebih sesuai kehendak Tuhannya. Diibaratkan juga sebagai rembulan yang memantulkan cahaya Matahari. Turut menyinari bagian bumi yang sedang dalam kegelapan.

Hanya, tujuan akhirnya tidak sampai di situ saja. Lebih lanjut kehendak nurani [konon lagi] watak dasarnya cuma satu, yaitu tunduk kepada kehendak yang lebih tinggi lagi, yakni kehendak Tuhannya. Dalam kultur Jawa pasca Panembahan Senopati ada sebuah busana yang selalu dikenakan para raja dalam acara-acara tertentu. Busana tersebut disebut ‘takwa’, sebuah model pakaian khusus yang kata abang saya adalah hasil rancangan Sunan Kalijaga. Kata takwa dalam bahasa Jawa [katanya lagi sih] berasal dari akronim ‘tan kuwawa’ (tak kuasa / tak berdaya). Seorang raja ketika duduk di singgasana dan sedang menjalani perannya sebagai pemimpin harus mengenakan busana takwa, sebagai pengingat atas hakikat seorang penguasa.

Maksudnya, seorang raja harus paham dan menyadari bahwa sesungguhnya dia tak punya dan tak pernah punya kuasa. Kekuasan yang ada padanya hanyalah sebuah mandat. Raja cuma sekadar pelaksana saja. Dengan kesadaran seperti ini, melalui busana takwa, dan dengan kebesaran serta kerendahan hati seorang raja diharapkan bisa berlaku bijaksana, menjadi ningrat sejati.

Bukan berarti saya sudah mengalami. Tulisan ini hanyalah upaya berbagi teori. Siapa tahu ada yang mengena. Selamat menjalankan ibadah puasa [bagi mereka yang menjalaninya].

Wejangan Ki Nata:

Sejatining pasa iku laku tapa. Nepakke rasa, nata pakartining raga. Amarga sakjeroning rasa ana cahya pancer cahyaning Gusti Ingkang Maha Kuwasa. Raga kuwi hamung saderma nunut lan manut kersaning cahya. Mangkono kuwi jaba jero wus nora beda. Katon saka pakartinira wujud tepa salira mring sapadha-padha.

Tentang

Cuma seorang pengelana yang bebas berkeliaran.

Ditulis dalam Pemikiran, Pengalaman, Pengamatan, Umum
35 comments on “Menundukkan Naluri, Mendirikan Nurani
  1. Sawali Tuhusetya berkata:

    mengena sekali, mas sitijenang, meski belum pernah mengalami. pasa, tapa rasa, tapa kuwasa, tapi jangan sampai tapa sapa, haks. 😀 dalam kultur jawa, pasa sebenarnya bukan hanya pada ramadhan saja. idiom “sudanen dhahar lan guling, pesunen sariranira” mengandung nilai filosofis yang dalam, tak sebatas mencegah makan atau minum, tapi juga membangkitkan nurani utk mengendalikan nafsu demi mewujudkan kesejatian diri yang terhormat dan bermartabat.


    SJ: ya, pak. semangat puasa mestinya dijadikan sikap hidup barangkali.

  2. 3yoga berkata:

    pasa, kalau ditempatku dulu sering diplesetkan menjadi apa-apa kersa, ….., wah mas saya gak bisa komentar, karena memang sudah bagus, sementara saya hanya numpang lewat saja mas siti ….

    salam,


    SJ: he he he… emang saya juga sering dengar. blog-nya mana nih, mas?

  3. bisaku berkata:

    Tapi yang harus dipahami juga, bahwa bisikan dari nurani adalah bisikan yang harus “dibiasakan”. Karena nurani tanpa dibiasakan adalah seperti mata pisau yang tidak diasah, karena saat pisau tersebut tumpul, maka tidak lagi pisau tersebut bisa digunakan untuk memotong atau melukai perasaan kita disaat kita melakukan suatu kesalahan. Well, saya memang tidak puasa. Tapi dalam ajaran saya memang tidak diwajibkan untuk melakukannya, tapi penguatan nurani untuk mengalahkan hawa nafsu adalah salah satu kegunaan dari puasa.

    Lagi-lagi sebuah tulisan dari pemikiran yang mendalam dan selamat berpuasa buat yang menjalankannya 🙂

    *sok pintar-kabur*


    SJ: betul. harus dibiasakan, diasah, diolah, digunakan, dll.

  4. Ngabehi K.M berkata:

    cegah mangan, guling, ngunjuk menika gampil kang jenang…, nanging yen sampun dumugi pasa netra menika susah sanget, lha wong ngelihat satu objek yang ….., mrembetnya dah kemana2, he he. Saya pernah ditabrak orang gara – gara mripat ini je, hi hi


    SJ: he he he… apa maneh tapa bisu.

  5. gentole berkata:

    Mas Jenang, maksudnya raja dalam tulisan-tulisan Mas Jenang itu apa sih? Ketua RT, mentri, presiden, ketua kelas, kepala keluarga, atau apa? Bukankah dalam sistem politik modern penguasa bukanlah ‘raja’ dalam arti, seorang pemimpin dengan kekuasaan absolut, tetapi mandataris MPR, yakni para wakil rakyat?

    Mohon Pencerahannya, Mbah. 😀


    SJ: raja jaman dulu pun tidak absolut, seperti makna ningrat. tiap manusia kan katanya juga raja / ratu / pemimpin dirinya sendiri. kira-kira begitu.

  6. lovepassword berkata:

    Pada gulang ening kalbu
    Ing sasmita amrih lantip
    ojo pijer mangan endro
    cegah dahar lawan guling


    SJ: nun inggih… nun inggih…

  7. marsudiyanto berkata:

    Saya kok pernah dengar Tapa Brata, itu apa Mas SJ…
    Yang pasti bukan Brata Tapa ya….
    Lha kalau “Tapa Wuda Sinjang Rambut”, apa pula maknanya?
    Masih adakah di era sekarang ini yang melalukannya?
    Saya baru latihan Tapa “Banyak Ng”,
    Tidak ngrokok,
    tidak ngopi,
    tidak ngalor,
    tidak ngidul,
    tidak ngetan,
    tidak ngulon,
    tidak ngalor ngulon
    tidak ngetan ngidul

    tidak ngiler,
    tidak ngutang,
    tidak ngisin-isini,
    tidak ngayawara
    Apa saya telah “batal” karena ngayawara Mas SJ?


    SJ: wah saya ga diajari tapa wuda, jadi gak tau. kalo tapa brata ada yg pernah nulis di sini. Tapa Ng kayaknya menarik tuh, pak. saya perlu diaajari juga… :mrgreen:

  8. esensi berkata:

    *masih dalam proses mencerna tulisan sampeyan*
    *Insya Allah nanti kembali lagi, membawa pertanyaan :mrgreen: *

  9. adipati kademangan berkata:

    Mungkin saya masih dalam tingkatan pertama, masih dalam proses bagaimana melemahkan naluri. Jadi masih harus belajar banyak sehingga bisa mendengarkan serta melaksanakan kehendak nurani


    SJ: saya juga. 😎

  10. Gempur berkata:

    pada dasarnya berpuasa itu mengosongkan diri, mengalami titik nol, titik netral di mana hawa positif dan negatif tak lagi bermakna. berpuasa itu menjadi pusat koordinat semesta, semesta kecil dalam diri kita, demikian kata mertua saya. Apapun bisa terjadi pada saat kita mengosongkan diri, membersihkan diri. Tergantung dari niat kita pada saat awal menjalankan puasa. Itulah kenapa niat menjadi begitu esensi, masih kata mertua saya.

    Tulisan karya SJ benar-benar menambah ranah pemahaman di bidang puasa yang selama ini saya ketahui. Terutama antara naluri dan nurani. matur nuwun, kyai.


    SJ: setuju pak. sepertinya niat itulah yg menjadi penentu di mana akhir dari sebuah ibadah. sama-sama, tapi saya bukan kyai nih… boro-boro… :mrgreen:

  11. goncecs berkata:

    met puasa aja !!!
    moga cepet lebaran, biar cepet pulang kampung !! hiks hiks


    SJ: kalo gitu jangan sampek kehabisan tiket. 😎

  12. Rindu berkata:

    Kita semua yang ada dibuminya ALLAH adalah khalifah, memperoleh mandat dari sang pemilik napas untuk taqwa hanya pada Nya.

    *sok tahu mode ON*


    SJ: [sepertinya] memang benar. saya setuju. [katanya sih] memang begitu. 😎

  13. Achmad Sholeh berkata:

    Tulisannya dalem banget Boss, dalam adat budaya maupun dalam ajaran agama puasa mempunyai makna dan arti yang berbeda demikian juga tujuannya, jelas berbeda.


    SJ: semoga saja perbedaan yg membawa rahmat.

  14. tomy berkata:

    satu lagi kang ‘pasa’ ngeposke rasa’ seperti saat kang Sitijenang ‘mutih’ biar dapet Mbakayune dulu :mrgreen:


    SJ: wakakaka… betul juga tuh.

  15. adi isa berkata:

    cuma mau ngucapin “selamat menunaikan ibadah puasa”


    SJ: berawal dari selamat, mudah-mudahan berakhir selamat juga,

  16. sufimuda berkata:

    Ada 2 kesenangan yang didapat bagi orang yang berpuasa, yaitu saat berbuka dan bertemu dengan Tuhan.
    Kebanyakan kita hanya dapat satu kesenangan saja , yaitu senang berbuka dengan segala jenis makanan yang berlimpah 🙂
    Bagaimana dengan Bertemu Tuhan?


    SJ: he he he… daftar belanjanya malah numpuk sih.

  17. erander berkata:

    Saya kemarin mendengar ceramah tentang kepemimpinan Rasulullah dimana pada saat perang .. ketika pasukan dilanda kelaparan, ada pengikut yang mengikat satu batu diperutnya untuk menahan rasa lapar. Belakangan baru diketahui bahwa ternyata Rasullullah mengikatkan dua batu diperutnya. Ketika ada makanan, anggota pasukan yang duluan kenyang. Sebaliknya, ketika lapar .. justru nabi yang duluan lapar. Begitu kira-kira isi ceramahnya. Mohon maaf jika ada kekurangan.


    SJ: kalo contoh kepemimpinan beliau memang gak ada duanya.

  18. Nesia! berkata:

    Setuju. Puasa yg ngga mendatangkan kerendahan hati dan kemauan berbagai, bukan cuma kegiatan yang sia-sia, tp kegilaan yang menyiksa diri sendiri.


    SJ: he he he… betul itu.

  19. langitjiwa berkata:

    tulisan ini mengena sekali, mas sitijenang.
    slmt mlm, mas.


    SJ: selamat malam. 😎

  20. C4ndra berkata:

    Sejauh yang bisa saya tangkap dari tulisan mas jenang. Puasa dalam pengertian disini lebih terfokus pada pengekangan, penguasaan dan pengendalian diri yang tercermin dalam sikap dan prilaku nyata keseharian. Kalau menurut saya puasa jenis ini tidak cukup dalam hitungan bulan atau tahun tapi mesti sepanjang masa. Sungguh tidak ringan. Tapi itu bukan sesuatu yang mustahil untuk dilakukan.
    Mohon di koreksi kalau saya salah tangkep… 🙂


    SJ: ya, betul! :mrgreen: bisa juga dibilang sikap hidup yg selalu terkendali [barangkali].

  21. akaldanhati berkata:

    mudah2an segera muncul pemimpin baru yang punya nurani tinggi dan naluri terkendali

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: mudah-mudahan. makasih udah mampir.

  22. rochMANIAC berkata:

    Menurut kata orang yang mengakrapi NLP, hipnosys atau apalah itu namanya, bahwa perut (salah satu yang harus dikendalikan saat puasa) adalah “second brain” alias otak ke dua manusia. Second brain ini mempunyai kekuatan yang sungguh luar biasa. Untuk mengeksplorasinya salah satunya dengan puasa. Kira-kira begitu katanya.

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: kayaknya menarik tuh, pak. makasih infonya.

  23. CY berkata:

    Ah, seandainya “raja-raja kecil” di negara ini bisa sungguh2 mengenakan busana takwa, kita pasti akan menjadi negara Adidaya yang berpengaruh di kawasan Asia.

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: mudah-mudahan suatu saat nanti ada yg mau.

  24. doelsoehono berkata:

    Selamat menjalankan Ibadah puasa semoga di teri olehNya
    sitijenang …….. selamat malam
    Bro…….Boyolali

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: amin. salam kenal. makasih udah mampir.

  25. edratna berkata:

    Tulisan yang menarik…. menundukkan naluri (yang belum tentu baik)… dan mendirikan nurani (dari hati yang pada umumnya penjaga hati untuk berbuat kebaikan)

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: betul, bu. seperti naluri orang tua terhadap anak, jangan asal dituruti tanpa kendali.

  26. galeter berkata:

    Sepertinya ada sesuatu !!
    yang saya pahami,..
    dunia sekarang — Gelombang Spiritualitas sedang menerpa kita
    Jika saya amati fenomena.. secara cermat… ya cermat!!
    gelombang itu sedang melanda kita.

    semoga jaman ini adalah jaman banyaknya orang “cerah”
    Cerah Spiritualitas.
    salam kenal..
    http://galeter.wordpress.com

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: salam kenal. mudah-mudahan Anda termasuk salah satu di antaranya.

  27. galeter berkata:

    makasih udah berkunjung Bro
    *barusan yah?*
    tq

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: iya. kebetulan masih online.

  28. santribuntet berkata:

    Duh wejangannya komplit banget. Saya dapat ilmu baru: bahwa kehidupan manusia diliputi oleh Nurani vs Naluri. Puasa dalam hal ini melemahkan naluri dan memperkuat nurani sehingga memiliki kekuatan bukan justru nafsu kekuasaan… 😀
    Ini sudut pandang lain dari teori berpuasa yang sangat mengena!

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: makasih, pak kurt. sundut pandang dalam memaknai sesuatu emang banyak.

  29. fauzansigma berkata:

    nurani dan naluri… elemen2 yg sangat berharga dalam kehidupan manusia yang bisa menjadi manfaat besar bagi org lain bila itu dioptimalkan utk digunakan sebagai pijakan awal sebuah tindakan..

    selamat poso mas..

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: yup. selamat juga.

  30. *hari berkata:

    wah, agak mikir juga nih mbacanya…
    tp meyakinkan sekali kalo banyak hal yang bisa dipelajari dari sebuah kebudayaan (Jawa).

    *masih mikir 😆 *

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: memang banyak sekali. saya sendiri masih mikirin isi posting ini kok. jangan lupa pake rasa juga. :mrgreen:

  31. zal berkata:

    ::puasa, memang salah satu jalan taqwa, jika di gatuk-gatukkan, puasa bisa jadi adalah rasa puas sehingga tidak membangun keinginan-keinginan, tanpa keinginan mungkin fisik tak lagi menggengam dunyo, sehingga menyerah pada sang “Kehendak”, ini sejalan dengan ayat Yaa Ayyuhallaziina amanu itaquallhu haqqotuqoti wala tammutunna illa waantum muslimuun”, jika keinginan tak lagi kuasa, tan kuwawa, maka berserah dirilah raga pada rasa…sehingga jaba tidak ada beda denga jero,… mungkin… he..he..namanya juga menggatuk-gatukkan….

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: he he he… dapet akronim baru nih. puasa, merasa puas dengan menggenggam rasa. thx. 😎

  32. Dimas berkata:

    mat malam om
    Tulisannya bagus sekali dalem lagi tapi sayang susah jalaninya. 🙂

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: susah jalan kan [kalo gak salah] karena gak tau jalannya atau kurang kuat tekadnya. mungkin ada aja orang yang dimudahkan langkahnya. mudah-mudahan kita termasuk di dalamnya.

  33. mangun berkata:

    cocok kang ngendikamu. naluri manungso ra adoh karo kewan. jane poso iki men karepe podo sensitip wae yo. nek aku rasak rasake terangane iki salah sijining sarono bibit nukulke rosone/sing jujur iki ngajari si nurani kuwi men ngerti karo liyan lan diwujudke, opo karebe mengkono ? nyuwun ngapunten……….

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: inggih leres. kinten-kinten kados makaten.

  34. […] dari sang diri menjadi ‘Aku’, sedangkan kehendak sejati termanifestasikan menjadi nurani. ‘Aku’ menurut saya agak cocok bila disimbolkan sebagai Semar, titisan Batara Ismaya. […]

  35. pandu berkata:

    d dlm diri ad 2 ilham yg dbrikan olehNya [alQuran]. ilustrasiny, d dlm diri ad 2 krajaan; jln kpd Iblis [fujuroha] n Allah [taqwaha]. snjata pmungkas u/ mruntuhkn krjaan Iblis adlh tdk mmbriny bnyk “makan” (nafsu n syahwat). so bs jd bhw hakikat puasa itu hrslah “setiap saat”. insya Allah stlahny qt baru bs brperan sbg “raja kecil”-Nya. d era skrg puasa brubah mjdi [puas]2in d[a]h ! krn bnyk kolak, es dll. :mrgreen:

Tinggalkan komentar