Paradoks Berkaki Dua

Mengenal diri sendiri adalah langkah awal menuju pencerahan rohani bagi orang Jawa. Setahu saya itulah esensi dari banyak ajaran para pendahulu. Mengenai ilmu kejawen, umumnya orang menganggapnya tidak ilmiah, walau buat sebagian katanya justru sangat ilmiah. Sepertinya tergantung bagaimana seseorang mendefinisikan kata ‘ilmi+ah’ ini. Saya sendiri tidak terlalu memusingkan apakah pandangan saya termasuk ilmiah, mistis, apologis, esoteris, atau apalah.

Soal jati diri manusia, saya sempat mengumpulkan wawasan dari berbagai sumber. Sebelumnya saya ingatkan bahwa apa yang disampaikan dalam artikel ini hasil renungan pribadi. Hanya rangkuman disertai simbol-simbol versi saya sendiri. Sebagian besar mungkin berasal dari sumber-sumber yang tidak jelas. Cuma, dari berbagai referensi yang sempat hinggap di benak, tampaknya hanya falsafah Jawa yang paling mengena. Barangkali karena saya memang orang Jawa atau lantaran nilai-nilai awal yang dikenalkan memang kejawen, meski bagi pandangan para sesepuh tingkat kejawaan saya tidaklah seberapa.

Pada awalnya, manusia muncul sebagai makhluk yang berasal dari cahaya. Diri sejati manusia ini disebut sukma, makhluk yang tinggal di jagad terang benderang, alam sunyi, alam kadewatan, dan berbagai istilah lainnya. Dibanding raga di alam nyata, wujud manusia di sini pun relatif sama, walaupun semua komponennya terbuat dari cahaya. Malahan, semua hal berujud cahaya. Bila terjadi monolog atau dialog pun tidak ada kata-kata yang muncul, melainkan pancaran cahaya saja.

Boleh jadi karena sulit memahami realitas serba cahaya ini, orang Jawa jaman dulu lalu mengubah kata “cahaya” menjadi “rasa”. Lalu, sebagian beranggapan bahwa kehidupan janin dimulai ketika berdenyut jantungnya. Karena itu, organ berbilik empat ini lalu dijadikan simbol rasa sejati. Konon, di situlah asal mula segala sesuatu menjadi ada. Kalau menurut tradisi Hindu, rasa katanya dicipta paling awal sebelum komponen lainnya, termasuk pikiran. Nalar atau pikiran disebut juga sebagai daya cipta, sebuah sarana untuk mewujudkan kehendak menjadi nyata. Karena itu, menurut orang Jawa cipta atau pikiran disebut pelita jika dipimpin oleh rasa, yaitu rasa sejati tentunya.

Menyoal manusia cahaya, ada dua komponen utama menurut saya, yaitu diri eksistensial *haiyah* yang disebut ‘ingsun’ dan kehendak sejati yang dibahasakan ‘sir’. ‘Ingsun’ juga disebut ‘rasa aku ana’ (rasa aku ada), meski belum bisa melakukan apa-apa. Dia bisa berbuat sesuatu lantaran ada si kehendak sejati atau ‘sir’ itu tadi. Katanya manusia satu ini tidak butuh makan maupun tidur.

Saya baru tahu belakangan bahwa kata “rasa” yang benar dalam bahasa Jawa ditulis ‘rahsa’. Huruf “a” berbunyi seperti “o” dalam kata “konyol”. Ternyata ada dua definisi mengenai kata yang satu ini. ‘Rahsa’ adalah akronim ‘rahing kuwasa’ (roh yang berkuasa) dan ‘rahing karsa’ (roh yang berkehendak). Terjemahannya bebas menurut kemauan saya saja.

Singkat cerita, dua komponen tadi lalu mengejawantah dalam realitas yang setingkat lebih rendah, yaitu alam jiwa atau alam remang-remang. Di sini konon ada sebuah kaca, cermin, atau menurut saya lebih tepat disebut lensa. Tugasnya memantulkan sekaligus memancarkan sang diri sejati ke dimensi di bawahnya. Pantulan dari sang diri menjadi ‘Aku’, sedangkan kehendak sejati termanifestasikan menjadi nurani. ‘Aku’ menurut saya agak cocok bila disimbolkan sebagai Semar, titisan Batara Ismaya. Kata ‘ismaya’ sendiri artinya ‘ isening wujud manungsa sejatine cahya’ (isi makhluk berwujud manusia sesungguhnya cahaya). ‘Ingsun’ telah saya simbolkan sebagai sosok Sri Kresna, maka sang cermin bisa disebut ‘kaca paesan’ (cermin rias). Alat bantu untuk melihat permasalahan sekaligus mencari solusi yang tepat.

Nah, keanehan mulai timbul ketika cahayanya menembus sang cermin. Dua komponen tersebut juga mengejawantah di alam terbawah, yaitu alam raga. Masalahnya, dua komponen utama tadi menjadi terbalik, baik dari wujud [mungkin] maupun sifatnya. Makan, tidur, serta harta benda adalah kebutuhan untuk melangsungkan hidup. Padahal, tiga hal itu [katanya lho] sama sekali tak dibutuhkan sang sukma. Serba aneh.

Dugaan saya, itulah sebabnya syarat utama untuk memahami dunia spiritualitas, seseorang harus belajar membalik pandangan atau kesadarannya. Di alam nyata manusia punya berbagai kebutuhan dan karenanya pembalikan total tak mungkin dilakukan. Bisa-bisa sang raga, kendaraan sukma di alam dunia, bisa celaka atau malah mati. Paling banter tentunya mengurangi atau mengendalikan saja. Sukma tak butuh makan, sehingga manusia diharapkan mengurangi atau mengatur pola makannya. Mengurangi tidur adalah cara untuk mendekati kesadaran sukma, yang sepanjang hidupnya tak pernah mengantuk. Sebagian harta benda pun secara rutin harus didermakan. Sepertinya cocok juga dengan wejangan-wejangan orang tua seperti almarhumah si mbah saya. Ah, jangan-jangan sang sukma juga terbalik dalam memandang pepohonan di alam nyata. Akarnya terlihat tinggi menjulang, sedangkan dahan, daun, serta buahnya tampak bergelantungan.

Tampaknya inilah tantangan sesungguhnya seorang manusia. Menjaga keselarasan dua realitas yang saling bertolak belakang itu. Tak mengherankan kalau Ki Suryo Mentaram *eh dia lagi* menyebut bahwa manusia pada dasarnya memang sial. Entah apakah pandangan ini ada kaitan dengan kisah dua leluhur manusia yang memakan buah terlarang.

Saya kira cukup sekian. Walaupun lebih banyak unsur khayalan, mudahan-mudahan bisa menambah wacana positif bagi siapapun yang sudi membacanya.

Tentang

Cuma seorang pengelana yang bebas berkeliaran.

Ditulis dalam Khayalan, Pemikiran, Pengalaman, Pengamatan, Umum
40 comments on “Paradoks Berkaki Dua
  1. Sawali Tuhusetya berkata:

    jujur saja, saya harus banyak melakukan refleksi dan kontemplasi *hayah* ketika membaca postingan mas jenang kali ini, berulang-ulang saya membacanya, tapi sulit “ngeh” juga, terutama berkaitan dengan kata “rasa” yang ternyata berasal dari kata ‘Rahsa’: akronim ‘rahing kuwasa’ (roh yang berkuasa) dan ‘rahing karsa’ (roh yang berkehendak). saya mencoba utk mengaitkannya dengan kata “perasaan” yang saya yakini hanya sebatas bentuk rasa-pangrasa yang memiliki makna sosial dengan sesama. ternyata maknanya lebih dari itu. mohon pencerahannya lebih lanjut, mas jenang.

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: sebetulnya *halah* memang lebih dari itu. perasaan itu sifatnya masih remang-remang, bisa benar atau tidak. tapi tulisan ini pun bisa benar, tapi bisa juga tidak. :mrgreen:

  2. pandu berkata:

    u/ mmprkaya gbrn sj : 🙂
    shang hyang pinojoyo
    sak durunge ono tapel adam
    wes tumetes dadi ROH, dadi NYOWO, dadi SUKMO, dadi ROSO
    ROHe ALLAH, NYOWOne ALLAH, SUKMOne ALLAH … (bghan dari SIRuLLAH) trlihat bhw qt ga pnya apa2 y mas.

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: ya. semua pemberian atau titipan aja sih. makasih tambahannya. coba nanti saya cari Hyang Pinajaya itu…

  3. Semakin dalam nich … Mengenal diri sendiri adalah langkah awal menuju pencerahan rohani … sungguh mencerahkan Mas.

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: terima kasih, pak guru. ini menurut saya aja sih. :mrgreen:

  4. bisaku berkata:

    Kontemplasi hidupkah ini? Atau semata-mata daya khayal yang tinggi dalam meniti karir menuju pertapaan para empu! Tapi kalau hanya sekedar khayalan, tidak bisa pula di jewantahkan dalam tulisan yang mendalam seperti ini 🙂 …

    Wah sobat, dirimu menuliskan dalam falsafah Jawa yang kuat. Walau ada beberapa bagian yang bagi diriku pribadi tidak bisa ku ambil sebagai suatu kesimpulan tentang pemahaman diriku tentang bagaimana diriku memandang diri sendiri, tapi nampaknya hal tersebut tampak berbeda karena terkait dengan latar belakang budaya yang kita berdua anut dan pemahaman tentang pemikiran diri ini tentang bagaimana manusia tersebut berwujud dan diwujudkan, baik dalam alam spritual dan keduniawian.

    Ngomong-ngomong, kenapa aku mulai ikut menulis hal-hal berbau spritual juga ya :mrgreen: Kayaknya lebih enjoy nulis tentang cinta aja ah 😆

    Salam 🙂 …

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: kayaknya esensinya sama dengan tulisan sampeyan deh… istilah dan simbolnya aja yg beda mungkin.

  5. Ngabehi berkata:

    hmmm ck ck ck, kaya’nya yang ngomong bukan kang Jenar ehh kang jenang lagi nich,….

    ▄▄▄▄▄▄
    Hmmm… no komen ah… :mrgreen:

  6. pengembarajiwa berkata:

    Salam kenal…… Mas Siti Jenar! Eits….. Siti Jenang, maksudnya.

    Dua tidak bercerai, tiga tidak terpisah……..
    dimana yang dipandang isinya adlah air, pembungkusnya juga air dan pengikatnya juga air.

    Wassalam

    PJ (Pengembara Jiwa)

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: air memang bisa mengalir sampai jauh… 😎

  7. Gelandangan berkata:

    terima kasih atas informasi yang sangat menarik di ulas di atas mas
    salam kenal

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: salam kenal juga. 😎

  8. nurma berkata:

    Aduh! (membatin) betapa bodohnya saya…

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: kecerdasan bermula dari kebodohan, sedangkan jawaban bermula dari pertanyaan katanya… 😀

  9. Timun berkata:

    Hoo saya harus berpikir dan berpikir keras nih. Rupanya kesialan saya terjadi hanya karena saya adalah manusia ya?

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: he he he… tampaknya memang begitu.

  10. erander berkata:

    Seperti dalam postingan ku disini bahwa jiwa itu seperti ‘listrik’ yang dialirkan ke wadah berbentuk tubuh, agar wadah tersebut bergerak.

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: ya, sepakat. 😎

  11. wira jaka berkata:

    ulasan dari raga …. lalu rahsa ……, mendalam banget, eh …. gak berani koment deh …., salam

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: lha ini kan komentar juga… 😀

  12. didta berkata:

    siti jenang, wkwkwkwkwkwk
    Jangan2 ajaran yg diberikan disini juga sesat nich.
    Tapi cool banget! Sampe melongo aku bacanya

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: muahahaha… kalo masalah sesat gak sesat sih bukan urusan saya lah… 😎

  13. mujahidahwanita berkata:

    serupa tetapi tak sama, sama tetapi tak serupa

    Keduanya memang serupa, bak pinang di belah dua.
    Kalau kita pandai merenungkan pastilah keduanya punya perbedaan.
    seperti Pasir dan debu senyum dan tawa.

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: :mrgreen:

  14. rochmaniac berkata:

    Yang aku bingung adalah “…manusia muncul sebagai makhluk yang berasal dari cahaya …”. Mungkin aku yang terlalu bodoh 😦 Mungkin ada penjelasannya..

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: lho konon katanya kan begitu, pak. saya cuma ngumpulin bahan jadi satu bahasan aja.

  15. esensi berkata:

    hue’em…
    nggih meniko…
    .
    aku dadi eling omongane tonggoku (blogger soko Malang), sing singkete, yen manungso iku, asale soko cahya, cahya iku ono 2, n(u)r & n(a)r. Dadine, laku urip kita2 itu, ya agar bisa menyeimbangkan antara “nur” dengan “nar” (meski kedua2nya beda arti, tapi sama2 cahaya). Rrr… yo pokoke kurang lebihe ngono lah :mrgreen:

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: nur iku cahya, nar iku geni utawa pangarep-arep.

  16. pandu berkata:

    jihad qt brngkali skrng adlh bgmn “nar” iku dadi “nur” ngonolo’ (sy maksai iso boso jowo ) :mrgreen:

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: lha itu dia. :mrgreen:

  17. lovepassword berkata:

    Agar melihatnya tidak terbalik, kita butuh dua cermin. Di depan dan di belakang.

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: satu aja cukup sih asal tahu bahwa yg terlihat sebetulnya terbalik.

  18. achmad sholeh berkata:

    Menurut Khayalan saya Rasa berasal dari Ruh manusia yang mewakili sisi kebaikan karena dia berhubungan dengan unsur KeIlahian dari sang Khalik sedangkan pada sisi lain Raga merupakan sisi manusia yang berhubungan dengan Dunia dalam hal ini nafsu duniawi sebagai fitrah mahluk hidup, untuk menjadikan kesimbangan dalam diri manusia maka kedua hal tersebut saling melengkapi sehingga terwujud manusia yang sesungguhnya yang mempunyai sifat baik dan buruk sesuai fitrahnya tinggal kekuatan mana nantinya yang lebih dominan yang menjadikan manusia baik dan manusia jahat, semoga tambah bingung… salam

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: he he he… tinggal pilih aja kan.

  19. langitjiwa berkata:

    saya setuju, mengenal diri sendiri utk memasuki pencerahan rohaninya.

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: berarti kita sepakat.

  20. goenoeng berkata:

    hmm….memang sebenarnya falsafah jawa sarat dengan ajaran yang ‘berat’. yang ngelingke manusia untuk berlaku sebagai menungsa, yang harus selaras dengan jagad, jagad alit, jagad gede….harmoninasi badan wadag dan badan alus….karena keselarasan tersebut akan membuat mode ketenangan lahir batin menjadi ON, mode komunikasi dengan alam = ON, mode hubungan vertikal = ON….
    ‘berat’, karena manusia sekarang kebanyakan bukan menungsa, tapi sudah menjadi ‘setan’.
    *hmmm, ngomong apa aku mau ya ….*

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. sumanggem hanyanggemi… *halah* :mrgreen:

  21. zal berkata:

    ::oopss…makin canggih wae cak…, sing dadi masalah ternyata ada pembatas pada saat berlepas dari pandang…fikirinan sering tak langsung setuju…he..he..dadine..gelap maning..gelap maning…

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: muahahaha… wis peteng nanging ana sing rumangsa wis kaparingan pepadhang. nganyelke tenan… :mrgreen:

  22. Pingin postingan baru ach … lagi haus pencerahan nich

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: wah, ntar dulu pak… nunggu wangsit… he he he… 😀

  23. Islam Indie berkata:

    mas, kok saya ngeh ya…
    wa fii sirri’ ana
    dan didalam rasa ada Aku
    gitu ga sih? 😉

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: lha menurut mbak gimana? :mrgreen:

  24. Rindu berkata:

    huahhh … ngantuk baca tulisannya, panjang bener sih mas? direngkes dong untuk saya 🙂

    *dasar manja*

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: lho katanya sedang kuliah S2. mongsok baca tulisan segini aja kepanjangan. kalo saya sih terus terang, mo ngerti atau tidak bukan lagi urusan saya. :mrgreen:

  25. Ndoro Seten berkata:

    jero memang pemaknaan rahsa…..

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: lha panggenanipun pancen wonten lebet.

  26. mikekono berkata:

    postingan yg berat dan berkualitas
    mengenal diri sendiri memang
    jalan tol untuk mengenalNYA

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: terima kasih, pak. ini semacam rangkuman wacana yg terkumpul sebetulnya.

  27. Yari NK berkata:

    ya udah…. paradoks apa nggak….. yang penting sebagai makhluk berkaki dua, ya kerja sama aja deh antara sukma dan raga walaupun kebutuhannya berbeda2….. huehehehe…. :mrgreen:

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: he he he… kan gak boleh kerjasama dengan setan dan jin, pak. 🙂

  28. Elys Welt berkata:

    hmmm …… keseimbangan jiwa dan raga yg terbayang sekarang 🙂

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: dan sukma…

  29. sekelebatsenja berkata:

    kadang saya berpikir, apakah ‘benar’ atau ‘salah’ itu benar-benar penting..
    entah mungkin saya saja yang agak aneh.

    salam

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: mungkin keikhlasan yg lebih penting. salam juga.

  30. aryf berkata:

    🙂

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: apa ini kok mesem-mesem aja? :mrgreen:

  31. ningrum berkata:

    Wewww…
    Permisi mau pesen copas; kopi ma paste 🙂
    *langganan kok copas* 😀
    Setahu saya si, manusia emang punya sifat turunan kebaikan yang diidentikkan dengan cahaya dan keburukan-kegelapan-menyesatkan seperti iblis *halah*. Khayalan? bukan tapi pikiran yang jauh, melampaui batas kebiasaan umum 🙂

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: mo copas buat di mana emang? kalo melampaui batas bahaya dong… 😛

  32. t_ardhan berkata:

    “Tampaknya inilah tantangan sesungguhnya seorang manusia. Menjaga keselarasan dua realitas yang saling bertolak belakang itu. Tak mengherankan kalau Ki Suryo Mentaram *eh dia lagi* menyebut bahwa manusia pada dasarnya memang sial. Entah apakah pandangan ini ada kaitan dengan kisah dua leluhur manusia yang memakan buah terlarang.”

    saya suka penjelasan yang ini …….. 😀

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: 😛

  33. kenz berkata:

    Pada awalnya, manusia muncul sebagai makhluk yang berasal dari cahaya. Diri sejati manusia ini disebut sukma, makhluk yang tinggal di jagad terang benderang, alam sunyi, alam kadewatan, dan berbagai istilah lainnya. Dibanding raga di alam nyata, wujud manusia di sini pun relatif sama, walaupun semua komponennya terbuat dari cahaya. Malahan, semua hal berujud cahaya. Bila terjadi monolog atau dialog pun tidak ada kata-kata yang muncul, melainkan pancaran cahaya saja.
    —-

    Kenapa engga sekalian ngebahas perihal “gradasi cahaya”, paling ga, akan jauh lebih terpahami bagaimana “komponen manusia bisa disebut terbuat dari cahaya”, juga bagaimana “harokah jauhariyah” (ala Shadra, halah..) jiwa kembali pada sumber cahaya…

    Tampaknya inilah tantangan sesungguhnya seorang manusia. Menjaga keselarasan dua realitas yang saling bertolak belakang itu. Tak mengherankan kalau Ki Suryo Mentaram *eh dia lagi* menyebut bahwa manusia pada dasarnya memang sial.
    ——

    Saya sulit memahami kenapa paradoks realitas menjadi alasan mas jenang untuk mengaitkannya dengan pendapat Ki Suryo Mentaram bahwa manusia emang sial [untuk hal ini saya lebih stuju kalo manusia emang sialan, tapi bukan sial… :)]

  34. sitijenang berkata:

    Kenapa engga sekalian ngebahas perihal “gradasi cahaya”, paling ga, akan jauh lebih terpahami bagaimana “komponen manusia bisa disebut terbuat dari cahaya”, juga bagaimana “harokah jauhariyah” (ala Shadra, halah..) jiwa kembali pada sumber cahaya…

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: ini klaim dari sumber-sumber gak jelas memang, plus referensi yg minim. :mrgreen:
    btw, kalo jiwa itu di kejawen bukan sumber cahaya, tapi alam mental. ilmu psikologi juga disebut ilmu jiwa.

    Saya sulit memahami kenapa paradoks realitas menjadi alasan mas jenang untuk mengaitkannya dengan pendapat Ki Suryo Mentaram bahwa manusia emang sial [untuk hal ini saya lebih stuju kalo manusia emang sialan, tapi bukan sial… 🙂 ]

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: menurut saya sial karena harus menjalani hidup dulu di dunia. sukma atau ruh menurut katanya orang-orang kan tahu siapa Tuhannya, sedangkan raga tidak. watak raga juga kebalikan dari sukma. tapi itu semua kan katanya. kalo nyatanya, ya, tanya Tuhan saja. :mrgreen:

  35. illuminationis berkata:

    saya tadinya mikir makna “rasa” dalam bahasa Jawa diambil dari “rasa” dari bahasa Sansekerta, paling tidak itu kata Judith Becker*, yang menurut dia diulas dalam Wedha Pradangga Kawedhar oleh B.Y.H. Sastrapustaka… ya emang rasa dalam konteks seni gamelan sih…

    *Becker, Judith. Gamelan Stories: Tantrism, Islam, and Aesthetics in Central Java, 2nd ed. 1993.

    blognya asik, saya taut yah!

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: biarin aja mbak becker nulis seperti itu. tapi saya punya legitimasi sebagai orang jawa… muahahaha… nanti saya taut balik. thx.

  36. pengembarajiwa berkata:

    Apapun namanya….

    Roh, Jiwa, Sukma, Nyawa, diri, Hati, Bathin, Rasa, dll….dll….dll….

    Bagi saya itu semua dari pada yang satu jua.

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: Bhinneka Tunggal Ika dong.

  37. oh, ini khayalan semata, ya?

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: lha menurut sampeyan gimana?

  38. Menurut saya memang khayalan yang nggak genah. Hehehehe.

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: …maka demikianlah… 😎

  39. tomy berkata:

    sama-sama surya mentaram fan’s club 😀

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: 😎

  40. Lambang berkata:

    Mas Jenang,
    Kalau manusia memang bermula dari cahaya, berarti bisa dipakai untuk nyenteri sambil nyari kunci rumah yang jatuh di pekarangan ya ….. 🙂
    Atau minimal bisa dipakai untuk nyenteri jalan setapak, biar ngga’ kesandung-sandung…

    ▄▄▄▄▄▄
    SJ: soalnya setahu saya nurani itu kata dasarnya “nur” yang artinya cahaya. 😎

Tinggalkan Balasan ke rochmaniac Batalkan balasan